Minggu, 31 Juli 2011

PENYAKIT HATI

Amalan yang paling utama setelah amalan-amalan wajib adalah berbeda-beda dan tergantung kepada perbedaan kemampuan dan situasi dengan waktu masing-masing individu, sehingga sangatlah luas dan mungkin tidak berkesudahan apabila kita membahas hal tersebut. Tetapi, satu hal yang hampir disepakati oleh para ulama yang mengenal Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan perintah-Nya, bahwa amalan yang paling utama adalah senantiasa berdzikir mengingat Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Secara umum, dzikir merupakan kesibukan yang paling utama untuk dikerjakan oleh seorang hamba. Yang menguatkan hal itu adalah hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya:  ”Sungguh telah menanglah mufaridun!” Para Sahabat bertanya: ”Ya Rasululloh, siapakah mufarridun itu?” Beliau menjawab: ”Orang-orang, laki-laki maupun perempuan yang banyak berdzikir kepada Alloh”Juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda’ dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam yang bersabda, yang artinya: ”Maukah kuberitahukan kepada kalian sebaik-baik amal kalian, sesuci-suci kekayaan kalian, setinggi-tinggi derajat kalian, dan apa yang lebih baik bagi kalian daripada menyedekahkan emas dan harta benda atau daripada kalian berjumpa dengan musuh lantas memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab: ”Baiklah, ya Rasululloh.” Beliau bersabda: ”Berdzikir kepada Alloh”
Banyak sekali dalil-dalil qur’ani dan imani mengenai hal itu, baik yang terlihat, diberitakan, maupun disaksikan. Paling tidak, seorang hamba haruslah konsisten dalam menjalankan dzikir-dzikir yang ma’tsur dari ”Sang Pengajar Kebaikan” dan ”Iman Orang-orang bertaqwa”, dzikir-dzikir yang ditetapkan waktunya pada pagi dan sore hari, menjelang tidur, ketika bangun tidur, seusai sholat, dan dzikir-dzikir muqoyad (terbatas/tertentu) seperti yang diucapkan ketika makan, minum, berpakaian, bersetubuh, masuk rumah, masjid, dan wc serta keluar darinya, ketika hujan turun, ketika terdengar suara petir dan sebagainya. Selalu menjalankan dzikir mutlaq (tiada terbatas) seperti mengucapkan dzikir yang paling utama yaitu: ”La ilaha illallah” dan dalam keadaan tertentu melanjutkan dzikir ini dengan tambahan, seperti: ”Subhanalloh wal hamdulillah wallohu akbar wa la haula wa la quwwata illa billah” menjadi lebih utama.
Kemudian, hendaklah kita mengetahui bahwa apapun yang diucapkan oleh lidah dan dipikirkan oleh hati, yang bisa mendekatkan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, seperti aktivitas mempelajari dan mengajari ilmu, memerintahkan yang makruf dan mencegah kemungkaran merupakan bagian dari dzikir kepada Alloh. Karena itu, barangsiapa yang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu yang bermanfaat setelah melaksanakan kewajiban atau duduk dalam sebuah majelis untuk mendalami atau mengajarkan syariat Islam, ini juga merupakan salah satu bentuk dzikir yang paling utama.
Karena itu jika kita perhatikan, kita tidak akan menemukan dari kalangan umat Islam terdahulu terdapat perbedaan pendapat yang mencolok mengenai amalan yang paling utama. Adapun apa yang masih dirasakan oleh seseorang sebagai keraguan, hendaklah ia ber-istikharah sebagaimana yang disyariatkan. Tidak akan pernah menyesal, InsyaAlloh, siapapun yang ber-istikharah. Hendaklah kita banyak melakukan ini, juga banyak berdoa, karena doa adalah pembuka setiap kebaikan. Janganlah kita tergesa-gesa dengan mengatakan: ”Aku telah berdoa tetapi belum juga dikabulkan”. Hendaklah kita bersabar dan selalu berdoa. Dan juga hendaklah memilih waktu-waktu yang utama seperti di akhir malam, seusai sholat wajib, ketika adzan, ketika turun hujan, dan sebaginya.
Semoga semua yang kita bahas kali ini memberikan manfaat bagi kita semua. Dan semoga Alloh  Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita hidayah dan lindunganNya dari segala bentuk kejahatan dan kedholiman.
Sebagian manusia tidak mampu mengelakkan dirinya dari sifat iri dan dengki. Dengki kepada rekan yang baru naik jabatan, dengki kepada tetangga yang punya mobil mewah, dengki kepada saudara yang anaknya sarjana dan dengki kepada seorang ustadz yang memiliki murid yang pintar dan lain sebagainya.
Dan sungguh tidak bisa dibayangkan, ketika abad globalisasi dan keterbukaan yang telah mulai membuka pintunya akan semakin memberikan peluang untuk membuka ‘kran hati’ untuk saling mendengki. Karena ukuran globalisasi identik dengan materi. Orang pun semakin tak bisa mengendalikan hati.
Rasa dengki dan iri baru tumbuh manakala orang lain menerima nikmat. Biasanya jika seseorang mendapatkan nikmat, maka akan ada dua sikap pada manusia. Pertama, ia benci terhadap nikmat yang diterima kawannya dan senang bila nikmat itu hilang daripadanya. Sikap inilah yang disebut hasud, dengki dan iri hati. Kedua, ia tidak menginginkan nikmat itu hilang dari kawannya, tapi ia berusaha keras bagaimana mendapatkan nikmat semacam itu. Sikap kedua ini dinamakan ghibthah (keinginan). Yang pertama itulah yang dilarang sedang yang kedua diperbolehkan.
Beberapa Kisah Al Qur’an tentang Orang-orang yang Dengki
Dalam bahasa sarkasme, orang pendengki adalah orang yang senang melihat orang lain dilanda bencana, dan itu disebut syamatah. Syamatah dengan hasad selalu berkait dan berkelindan. Dari sini kita tahu, betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia, sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, yang artinya: “Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Dengki juga merupakan sikap orang-orang ahli Kitab. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Kebanyakan orang-orang ahli Kitab menginginkan supaya mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, disebabkan karena kedengkian (hasad) yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)
Kedengkian saudara-saudara Yusuf kepada dirinya mengakibatkan sebagian dari mereka ingin menghabisi nyawa saudaranya sendiri, Yusuf ‘Alaihis Salam. Allah Ta’ala mengisahkan dalam firmanNya, yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah ia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” (QS. Yusuf: 8 – 9)
Terhadap orang-orang pendengki tersebut Allah Ta’ala dengan keras mencela: “Apakah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah berikan kepadanya?” (QS. An Nisaa’: 54)
Sebab-sebab Dengki
Rasa dengki pada dasarnya tidak timbul kecuali karena kecintaan kepada dunia. Dan dengki biasanya banyak terjadi di antara orang-orang terdekat; antar keluarga, antarteman sejawat, antar tetangga dan orang-orang yang berde-katan lainnya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling berebut pada satu tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena pada keduanya tidak ada ikatan sama sekali.
Adapun orang yang mencintai akhirat, yang mencintai untuk mengetahui Allah, malaikat-malaikat, nabi-nabi dan kerajaanNya di langit maupun di bumi maka mereka tidak akan dengki kepada orang yang mengetahui hal yang sama. Bahkan sebaliknya, mereka malah mencintai bahkan bergembira terhadap orang-orang yang mengetahuiNya. Karena maksud mereka adalah mengetahui Allah dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisiNya. Dan karena itu, tidak ada kedengkian di antara mereka.
Kecintaan kepada dunia yang mengakibatkan dengki antarsesama disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya karena permusuhan. Ini adalah penyebab kedengkian yang paling parah. Ia tidak suka orang lain menerima nikmat, karena dia adalah musuhnya. Diusahakanlah agar jangan ada kebajikan pada orang tersebut. Bila musuhnya itu mendapat nikmat, hatinya menjadi sakit karena bertentangan dengan tujuannya. Permusuhan itu tidak saja terjadi antara orang yang sama kedudukannya, tetapi juga bisa terjadi antara atasan dan bawahannya. Sehingga sang bawahan misalnya, selalu berusaha menggoyang kekuasaan atasannya.
Sebab kedua adalah ta’azzuz (merasa paling mulia). Ia keberatan bila ada orang lain melebihi dirinya. Ia takut apabila koleganya mendapatkan kekuasaan, pengetahuan atau harta yang bisa mengungguli dirinya.
Sebab ketiga, takabbur atau sombong. Ia memandang remeh orang lain dan karena itu ia ingin agar dipatuhi dan diikuti perintahnya. Ia takut apabila orang lain memperoleh nikmat, berbalik dan tidak mau tunduk kepadanya. Termasuk dalam sebab ini adalah kedengkian orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang seorang anak yatim tapi kemudian dipilih Allah untuk menerima wahyuNya. Kedengkian mereka itu dilukiskan Allah Ta’ala dalam firmanNya, yang artinya: “Dan mereka berkata: Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?” (QS. Az Zukhruf: 31) Maksudnya, orang-orang kafir Quraisy itu tidak keberatan mengikuti Muhammad, andai saja beliau itu keturunan orang besar, tidak dari anak yatim atau orang biasa.
Sebab keempat, merasa ta’ajub dan heran terhadap kehebatan dirinya. Hal ini sebagaimana yang biasa terjadi pada umat-umat terdahulu saat menerima dakwah dari rasul Allah. Mereka heran manusia yang sama dengan dirinya, bahkan yang lebih rendah kedudukan sosialnya, lalu menyandang pangkat kerasulan, karena itu mereka mendengki-nya dan berusaha menghilangkan pangkat kenabian tersebut sehingga mereka berkata: “Adakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?” (QS. Al-Mu’minun: 34). Allah Ta’ala menjawab keheranan mereka dengan firmanNya, yang artinya: “Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu ?” (QS. Al A’raaf: 63)
Sebab kelima, takut mendapat saingan. Bila seseorang menginginkan atau mencintai sesuatu maka ia khawatir kalau mendapat saingan dari orang lain, sehingga tidak terkabullah apa yang ia inginkan. Karena itu setiap kelebihan yang ada pada orang lain selalu ia tutup-tutupi. Bila tidak, dan persaingan terjadi secara sportif, ia takut kalau dirinya tersaingi dan kalah. Dalam hal ini bisa kita misalkan dengan apa yang terjadi antardua wanita yang memperebutkan seorang calon suami, atau sebaliknya. Atau sesama murid di hadapan gurunya, seorang alim dengan alim lainnya untuk mendapatkan pengikut yang lebih banyak dari lainnya, dan sebagainya.
Sebab keenam, ambisi memimpin (hubbur riyasah). Hubbur riyasah dengan hubbul jah (senang pangkat/kedudukan) adalah saling berkaitan. Ia tidak menoleh kepada kelemahan dirinya, seakan-akan dirinya tak ada tolok bandingnya. Jika ada orang di pojok dunia ingin menandingi-nya, tentu itu menyakitkan hatinya, ia akan mendengkinya dan menginginkan lebih baik orang itu mati saja, atau paling tidak hilang pengaruhnya.
Sebab ketujuh, kikir dalam hal kebaikan terhadap sesama hamba Allah. Ia gembira jika disampaikan khabar pada-nya bahwa si fulan tidak berhasil dalam usahanya. Sebaliknya ia merasa sedih jika diberitakan, si fulan berhasil mencapai kesuksesan yang dicarinya. Orang sema-cam ini senang bila orang lain terbelakang dari dirinya, seakan-akan orang lain itu mengambil dari milik dan simpanannya. Ia ingin meskipun nikmat itu tidak jatuh padanya, agar ia tidak jatuh pada orang lain. Ia tidak saja kikir dengan hartanya sendiri, tetapi kikir dengan harta orang lain. Ia tidak rela Allah memberi nikmat kepada orang lain. Dan inilah sebab kedengkian yang banyak terjadi.
Terapi Mengobati Dengki
Hasad atau dengki adalah penyakit hati yang paling berbahaya. Dan hati tidak bisa diobati kecuali dengan ilmu dan amal. Ilmu tentang dengki yaitu hendaknya kita ketahui bahwa hasad itu sangat membahayakan kita, baik dalam hal agama maupun dunia. Dan bahwa kedengkian itu setitikpun tidak membahayakan orang yang didengki, baik dalam hal agama atau dunia, bahkan ia malah memetik manfaat darinya. Dan nikmat itu tidak akan hilang dari orang yang kita dengki hanya karena kedengkian kita. Bahkan seandainya ada orang yang tidak beriman kepada hari Kebangkitan, tentu lebih baik baginya meninggalkan sifat dengki daripada harus menanggung sakit hati yang berkepan-jangan dengan tiada manfaat sama sekali, apatah lagi jika kemudian siksa akhirat yang sangat pedih menanti?
Bahkan kemenangan itu ada pada orang yang didengki, baik untuk agama maupun dunia. Dalam hal agama, orang itu teraniaya oleh Anda, apalagi jika kedengkian itu tercermin dalam kata-kata, umpatan, penyebaran rahasia, kejelekan dan lain sebagainya. Dan balasan itu akan dijumpai di akhirat. Adapun kemenang-annya di dunia adalah musuhmu bergembira karena kesedihan dan kedengkianmu itu.
Adapun amal yang bermanfaat yaitu hendaknya kita melakukan apa yang merupakan lawan dari kedengkian. Misalnya, jika dalam jiwa kita ada iri hati kepada seseorang, hendaknya kita berusaha untuk memuji perbuatan baiknya, jika jiwa ingin sombong, hendaknya kita melawannya dengan rendah hati, jika dalam hati kita terbetik keinginan menahan nikmat pada orang lain maka hendaknya kita berdo’a agar nikmat itu ditambahkan. Dan hendaknya kita teladani perilaku orang-orang salaf yang bila mendengar ada orang iri padanya, maka mereka segera memberi hadiah kepada orang tersebut. Dan sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan kata-kata Ibnu Sirin: “Saya tidak pernah mendengki kepada seorangpun dalam urusan dunia, sebab jika dia penduduk Surga, maka bagaimana aku menghasudnya dalam urusan dunia sedangkan dia berjalan menuju Surga. Dan jika dia penduduk Neraka, bagaimana aku menghasud dalam urusan dunianya sementara dia sedang berjalan menuju ke Neraka.”
(Sumber Rujukan: Al Qur’an)
LAA ILAAHA ILLALLAH adalah sebuah kata yang sedemikian akrab dengan kita. Sejak kecil (kalau kita hidup di tengah keluarga muslim), kita akan begitu familiar dengan ucapan tersebut. Mungkin karena terlalu biasa mengucapkan kita sering tak peduli dengan makna yang hakiki dari kalimat tersebut. Malahan boleh jadi kita belum paham dengan maknanya. Sehingga bisa saja perilaku kita terkadang bertentangan dengan kandungan dari laa ilaaha illallah itu sendiri tanpa kita sadari.
Hal ini tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan keagamaan kita. Kalimat tersebut secara pasti menentukan bahagia dan celakanya kehidupan seseorang di dunia dan akhirat. Terus apakah terlambat bagi kita untuk tahu tentang makna syahadat tersebut di usia kita sekarang ini.? Jawabnya tidak ada kata terlambat sebelum nyawa sampai di tenggorokan kita, mari kita mulai dari sekarang untuk memahaminya. Untuk itu marilah kita mencoba mengangkat masalah makna syahadat ini untuk kemudian dipahami, agar melempangkan jalan kita meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kalau kita tinjau sebenarnya kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH  mengandung dua makna, yaitu makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah, dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Allah semata. Berkaitan dengan mengilmui kalimat ini Allah ta’ala berfirman:
Maka ketahuilah(ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah
(QS Muhammad : 19)
Berdasarkan ayat ini, maka mengilmui makna syahadat tauhid adalah wajib dan mesti didahulukan daripada rukun-rukun islam yang lain. Disamping itu nabi kita pun menyatakan
Barang siapa yang mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH dengan ikhlas maka akan masuk ke dalam surga( HR Ahmad)
Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah mereka yang memahami, mengamalkan dan mendakwahkan kalimat tersebut sebelum yang lainnya, karena di dalamnya terkandung tauhid yang Allah menciptakan alam karenanya. Rasul mengajak paman beliau Abu Thalib, Ketika maut datang kepada Abu Thalib dengan ajakan “wahai pamanku ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAH sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia sebagai hujah di hadapan Allah” namun Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal dalam keadaan musyrik.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal selama 13 tahun di makkah menggajak orang-orang dengan perkataan beliau “Katakan LAA ILAAHA ILLALLAH” maka orang kafir pun menjawab “Beribadah kepada sesembahan yang satu, kami tidak pernah mendengar hal yang demikian dari orang tua kami”. Orang qurays di Zaman nabi sangat paham makna kalimat tersebut, dan barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan menyeru/berdoa kepada selain Allah.
LAA ILAAHA ILLALLAH adalah asas dari Tauhid dan Islam dengannya terealisasikan segala bentuk ibadah kepada Allah dengan ketundukan kepada Allah, berdoa kepadanya semata dan berhukum dengan syariat Allah.
Seorang ulama besar Ibnu Rajabb mengatakan: Al ilaah adalah yang ditaati dan tidak dimaksiati, diagungkan dan dibesarkan dicinta, dicintai, ditakuti, dan dimintai pertolongan harapan. Itu semua tak boleh dipalingkan sedikit pun kepada selain Allah. Kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya selama tidak membatalkannya dengan aktifitas kesyirikan.
Inilah sekilas tentang makna LAA ILAAHA ILLALLAH yang pada intinya adalah pengakuan bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah ta’ala semata.
Perlu untuk diketahui, bahwa telah banyak penafsiran yang bathil yang beredar ditengah masyarakat muslim Indonesia secara khususnya mengenai makna LAA ILAAHA ILLALLAH, dan semoga kita terhindar dari kebathilan ini, yakni:
Laa ilaaha illallah artinya:
“Tidak ada sesembahan kecuali Allah.” Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.
Laa ilaaha illallah artinya:
“Tidak ada pencipta selain Allah.” Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.
Laa ilaaha illallah artinya:
“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah.” Ini juga sebagian dari makna kalimat laa ilaaha illallah. Tapi bukan ini yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.
Semua tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami menghimbau dan memperingati  di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ilaaha illallah ma’buuda bihaqqin illallah (tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) seperti tersebut di atas.
(Dikutip dengan berbagai penyesuaian dari: Kitab Tauhid, Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
Akar kata ‘AKHLAQ’ dalam bahasa ‘Arab adalah ‘kholaqo’ (masdar tsulastsy) yang merupakan akar pula kata-kata ‘kholiq’, ‘kholq’ dan ‘makhluq’. ‘kholaqo’ sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata ‘Kholiq’, ‘Akhlaq’ dan ‘makhluq’ murapakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur’an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4: “Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur’an. (Yang) Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya Al-Bayaan.” Insya’ Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya, menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur’an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada Al-Qur’an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya. Jadi akhlaq didalam Islam bukanlah semata-mata sopansantun, etika, atau moral dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
1. Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari’ah disamping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang digunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa).
Adalah keliru jika kita sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja. Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do’a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do’a akan kacau balaulah sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan do’anya. Namun ketika RasululLah SAW menyatakan ‘Sholluw kama roaytumuniy usholliy’ (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan RasululLaah SAW mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar’i-nya diberikan, yaitu ‘gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu ‘l-Ihraam dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu.” Demikian pula kata ‘Al-Jaahiliyyah’ yang diambil dari bahasa ‘arab (akar katanya ‘Jahala’), namun tidak pernah digunakan oleh orang ‘arab sendiri sampai Al-Qur’an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu bodoh tidak ber- ilmu’ haruslah diiringi arti secara Al-Qur’an sebagai penentu akan esensi kata tersebut (Ma’na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas…). ‘Akhlaq’-pun tidak terlepas dari definisi secara syar’i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima ‘l-Akhlaaq).”
Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan ‘the’ dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral. Ibunda ‘Aisyah ra menerangkan: “Adalah akhlaq beliau (RasululLaah SAW) itu Al-Qur’an.” Al-Qur’an telah menegaskan pula bahwa:”Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin ‘adhiim).” (QS. Al-Qolam:4). Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq, sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur’an dan Sunnah RasuluLaah SAW.
2. Kemudian, Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita RasululLaah SAW yang menjadi uswah hasanah. RasuluLaah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4) “Sesungguhnya telah ada dalam diri RasululLaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21) Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standard akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita. Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita.
Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akn pernah berubah. Contoh-contoh akhlaq beliau: RasululLaah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq hati dan lisan: “Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad) Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim) Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan RasululLaah SAW, yang tidak akan mungkin cukup kolom ini mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluq lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya.
3. Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan ‘akhlaq’, moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu. Ukuran kebaikkan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma’af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak RasululLaah SAW ada sampai sekarang. Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan ‘hello’ ‘goodbye’ juga akan mengucapakan ‘hello’ ‘goodbye’ ketika bertemu seseorang. Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita.
Allah SWT berfirman: “Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri.” (QS: Al-Baqarah:138).
4. Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih. Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak. Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya. Wa ‘l-Laahu a’lam bi ‘sh-Showaab, Wa ‘s-Salaamu ‘alaikum wa rahmatu ‘l-Laahi wa barakaatuh,
Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?

Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.
Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau: “Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)
Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
Wallahu ‘alam
Sumber: www.mediamuslim.info
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.Bila disederhanakan, setidaknya ada sepuluh karakter atau ciri khas yang mesti melekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah (Aqidah yang bersih)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah SWT. Dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam” (QS. 6:162). Karena aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman dan tauhid.
2. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq (akhlak yang kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah SAW diutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. 68:4).
4. Qowiyyul Jismi (kekuatan jasmani)
Qowiyyul jismi merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk hal yang penting, maka Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim)
5. Mutsaqqoful Fikri (intelek dalam berfikir)
Mutsaqqoful fikri merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang juga penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS 2:219)
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
Bisa dibayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”‘, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS 39:9)
6. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Mujahadatul linafsihi merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)” (HR. Hakim)
7. Harishun Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.
Allah SWT memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk pandai mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
9. Qodirun Alal Kasbi (memiliki kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Nafi’un lighoirihi merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.
Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berfikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Qudhy dari Jabir).
Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al Qur’an dan sunnah. Sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.
Banyak sekali contoh dari para umat terdahulu yang sholeh yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini tidak digunakan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagi contoh karena beberapa sebab. Pertama adalah bahwa akhlak Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah akhlak Al-Quran, sebagaimana yang disampaikan oleh Ummul Mu’minin A’isyah  RadhiAnha,  كَانَ خُلقُهُ القُرْاَنَ  ”sunguh akhlak beliau (Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliaulah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Sebab kedua agar orang tidak beralasan bahwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dapat bersifat lapang dada dan berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Alloh Subhanallohu wa Ta’ala,  telah disucikan dari bagian setan, telah dibersihkan dadanya dari bagian-bagian syaitan ketika beliau masih kecil dan ketika isra’ dan mi’raj. Hal ini kemudian dijadikan alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya.
Oleh sebab itu kami ambil contoh dari para pendahulu umat yang sholeh agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut. Dan agar kita dapat mengukur seberapa jauh akhlak kita dibanding dengan akhlak mereka. Yang paling penting adalah kita merubah akhlak kita tidak perlu kita melihat contohnya dari siapa. Artinya walaupun contohnya bukan dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang paling penting adalah kita mencoba merubah akhlak kita.
Cobalah kita menguji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, berbeda dalam aqidah, berbeda dalam manhaj, apakah sikap setiap kita sepeti yang dicontohkan oleh para pendahulu umat yang sholeh? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan ahlusunnah wal jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.  “Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (QS. Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal syaiyi’ (amal yang tidak baik), yang terkumpul di dalamnya subhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, terkumpul di dalamnya kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak di-wala’ 100% dan juga tidak di-baro’ 100% . Kita tidak baro’ 100% dan tidak juga wala’ 100% untuk orang seperti ini karena aqidah ahlusunnah wal jama’ah dalam masalah seperti ini kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanannya dan itiba’nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai dengan kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang-kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah terhadap orang lain yang berbeda. Yang seharusnya diberikan sikap yang menjadi aqidah ahlusunnah wal jama’ah terhadap orang yang didalamnya ada keimanan dan maksiat, ada keimanan dan ada bid’ah, ada keimanan dan syubhat, maka wala kita tidak diberikan 100% dan tidak juga ditinggalkan 100%, yang diberikan wala’ 100% hanya kepada orang yang beriman dengan sempurna, akan tetapi terhadap orang yang beriman yang didalamnya masih tercampur amal yang shaleh dan amal yang tidak shaleh, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan 100%. Kita mencintai seseorang sesuai dengan kadar keimanan dan itiba’nya terhadap sunnah, dan kita benci sesuai dengan kadar penyimpangannya dari sunnah. Inilah yang digunakan alasan sebagian orang untuk membela dirinya dengan menghatasnamakan dien dengan mengatasnamakan agama dengan mengatasnamakan  sunnah.
Sekarang kita lihat contohnya dari Imam Ahmad, imam ahlu sunnah wal jama’ah, yang beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara yang lain, beliau disiksa di siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dimasukkan ke dalam penjara sementara darah masih menetes dari tubuhnya pada saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad untuk mengatakan “Al Quran Makhluk”, padahal Al Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala). Kita perhatikan belaiu, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas, belaiu marah bukan untuk hawa nafsunya akan tetapi marahnya karena Alloh Subhanallohu wa Ta’ala I. Belaiu mengatakan ”semua yang pernah membicarakanku meka mereka semua halal dan aku maafkan semua. Dan aku memaafkan Abu ishaq,  (Raja Muktasim yang telah memenjarakan dan menyiksa belaiu dengan siksaan yang berat).” dan kemudian beliau mengatakan “aku maafkan Abu Ishaq, aku melihat melihat firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengampunimu?” (QS. An Nuur:22).
Tidakkah kita  melihat bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, Maha Pengampun lagi Maha Pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Alloh Subhanallohu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hambanya untuk memberi maaf kepada orang lain. Rasullloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar untuk memafkan pada kisah tuduhan palsu pada ‘Aisyah RadhiAllohu ‘Anha yang dituduh oleh orang munafiqin melakukan perbuatan zina dengan salah seorang sahabat.
Apa manfaatnya bagi kita, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? untuk memuaskan kepentingan kita dan membalas dendam kita?
Imam Ahmad setelah disiksa, tidak pernah membuka lagi catatan-catatan yang dulu ketika beliau disiksa. Beliau tidak ingin mengingat lagi orang-orang yang dahulu pernah terlibat terhadap penyiksaan beliau. Beliau tidak pernah mengingat lagi “Si fulan yang dulu mengejek saya , Si fulan yang dulu begini dan begini”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, beliau memaafkan semua orang-orang tersebut.
Contoh yang lain adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dianggap kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama pada zamannya. Beliau dimasukkan dari satu penjara ke penjara yang lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Kemudian setelah beliau keluar dari penjara beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang meminta maaf kepada beliau.
Salah satu musuh beliau adalah seorang ulama dari madzhab maliki dengan nama Ibnu Makhluf. Ibnu Makhluf wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu Murid Ibnu Taimiyah yaitu Ibnu Qayyim mengetahui kematian Ibnu Makhluf. Kemudian Ibnu Qoyyim bersegera datang menemuai Ibnu Taimiyah menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, mari kita lihat reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika melihat muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah’ maha suci Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, Syaikhul Islam dengan musuh besarnya yaitu Ibnu Makhluf ketika Ibnu Makhluf meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti  yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang, begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kematian seseorang yang dibencinya sampai mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.
Syaikhul Islam memarahi Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, dan beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi  raaji’un“. Kemudian beliau langsung mendatangi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “sesungguhnya sekarang status saya seperti bapak kalian”. “Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan saya akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan mereka mendoakan Syaikul Islam.
Ini kita lihat musuh besarnya. Dan kita lihat kalau sesorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah pasti orang ini aqidahnya tidak benar. Tetapi ketika meningggal, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan  bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini? Siapa diantara kita yang bisa ketika musuhnya meninggal dia mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan yang kalian butuhkan melainkan saya akan memenuhi kebutuhan kalian? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu? Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi kepada musuh.
Sekarang kalau kita mau jujur, jangankan musuh,  kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti kalau ukhuwah kita jelek sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang bisa berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, coba adakah  diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan ‘saya akan memenuhi kebutuhan kalian.’
Betul Syaikul Islam mendatangi orang yang telah menfatwakan tentang kafirnya Syaikhul Islam. Artinya ia sangat mememusuhi Syaikul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi beliau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bersikap lebih besar dari itu artinya bukan orang yang berjiwa kerdil.
Ayyuhal Ikhwan, seandainya kita berakhlak dengan akhlak seperti ini tentu kita bisa banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) dengan perlakuan sebagaimana ayat-ayat yang Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tegaskan bahwa ini adalah ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafiqin. Tidak boleh kita Istigfar untuk mereka, tidak boleh kita menyolatkan mereka, tidak boleh kita menguburkan mereka. Hukum-hukum itu (tidak boleh memintakan ampun, menyolatkan, dan mendatangi penguburannya), kita terapkan kepada orang yang tadi kita sebutkan.
Kadang-kadang kita bermuamalah dengan sebagian kaum muslimin dengan muamalahnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, muamalah dengan orang munafiqin. Artinya kita menjadi orang-orang yanag asyida’ alal Mu’minin, ‘orang yang sangat kasar kepada orang mukmin.’ Kita menjadi orang-orang yang sangat kasar kepada ahlu iman padahal Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati orang-orang mukmin dan para shabat yang bersana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar, ruhamaa’u bainahum. Kita menjadi orang yang terbalik, kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa kemudian kepada orang-orang kafir tidak bersikap kasar.
Kita lihat bagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang sudah aklaknya mulia sekali masih Alloh Subhanallohu wa Ta’ala  perintahkan untuk bersikap lembut. “Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam bukan kepada yang lain, artiya juga menjadi pelajaran bagi yang lain. Jika saja Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbuat kasar tentu   orang akan lari darinya apalagi bukan rasul. Yang Rasul ini banyak pendukungnya untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau dapat wahyu, beliau ma’sum dan beliau memiliki akhlak yang mulia, beliau ini dan itu, itu saja masih kemudian diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, sampai Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sampaikan firmanNya yang arinya: “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala (QS. Al Imran:159).
Sekarang mari kita lihat lagi contoh yang ketiga yakni dari Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, ketika berhubungan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay ini adalah tokohnya kaum munafiqin di masa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Semua orang tahu bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, bagaimana sikapnya terhadap Islam, ketika dalam perang Muraysi’ dia mengatakan “perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah  ‘سَمِّنْ كَلْبُكَ يَأْكُلُكَ‘ “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar akan memakanmu.” Artinya ketika Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya kita berikan kesempatan mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang muanafiq yang bersamanya. Kemudian dia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Ini perkataan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka kepada Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, agar mereka jangan diberikan apapun dan agar mereka keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan ketika Abdullah bin Ubay ini meninggal apa yang dilakukan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam? Beliau mendatangi kuburnya, memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberikan kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan dengan nash, Rasulullah datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ini bukan orang munafiq biasa tapi ra’sul munafiqin, tetapi dia masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala untuk imamnya orang-orang munafiq, sampai turun firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala yang melarang Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun. Artinya kita lihat kemuliaan jiwa Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita mungkin kita akan kemudian mengatakan “mampus, biar sekalian mati”, akan tetapi beliau memintakan ampun, baru setelah turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir, yang artinya:”Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Alloh Subhanallohu wa Ta’ala sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka” (QS. At taubah:80).
Berkenaan dengan ayat ini beliau bersabda yang artinya, “Seandainya saya tahu kalau seandainya saya beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaiman sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun libih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Kita lihat akhlak Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam  terhadap imamnya orang-orang munafiq, kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiAllohu ‘Anha, dia juga yang menuduh kehormatan Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Coba kita lihat pada orang yang seperti ini beliau masih mau mendatangi kuburnya, kemudian memberikan kain kafan kemudian memintakan ampun kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Tapi juga jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah  wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di depan. Artinya harus difahami aqidah wala’ wal bara’, mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’, bagaimana sikap Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para pendahulu umat yang sholeh berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu kita. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain adalah dua hal yang harus dibedakan.
Dai tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini. Kalau dai seperti ini, merusaknya lebih besar daripada memberi manfaat. Mendoakan kejelekan pada Si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat Fulan, kemudian mencaci maki Fulan kemudian menyatakan bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang yang seperti ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri, baru memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi merusaknya lebih besar daripada memberikan kemaslahatan bagi orang lain. Karena dia sendiri belum berhasil memperbaiki dirinya, memperbaiki jiwanya sehingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih susah. Artinya berurusan dan bermasalah dengan Si Fulan kemudian bermusuhan dengan orang lain dan seterusnya.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, dan sakitnya ini bukan dirumah sakit tetapi sakitnya di penjara, beliau dilarang melakukan semua aktivitas sampai kemudian tidak diberikan pena untuk menulis, dilarang diberikan pena, walau demikian beliau tetap menulis memberikan fatwa kepada kaum muslimin dengan mengunakan arang sampai akhirnya beliau dilarang untuk menulis, segala aktivitasnya diawasi dan disampaikan oleh ahlu bid’ah kepada penguasa.
Suatu ketika sebagian orang yang menjadi ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara kemudian meminta maaf kepada Syaikhul Islam, karena mereka menjadi sebab Syaikul Islam masuk penjara. Kita lihat bagaimana beliau berjiwa besar, beliau mengatakan “إِنِّي أَحْلَلْتُكَ  ” ‘saya telah maafkan Anda, saya juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya.’ Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, orang-orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara beliau maafkan semua.
Kisah yang lain yang menceritakan tentang Syaikhul Islam adalah ketika Raja An-Nashir tadi pemerintahannya berhasil digulingkan oleh Raja Al Mudhaffar. Ulama ulama yang tadinya bersama Raja Nashir ini bergabung dengan Raja Al Mudhaffar. Kita lihat bagaimana orang-orang yang cari keuntungan, cari selamat, kemudian bergabung bersama Raja Al Mudhaffar. Ternyata tidak beberapa lama kemudian Raja Nashir berhasil merebut kembali kekuasaannya. Ulama-ulama yang tadi, para Qodhi dan para Fuqaha tadi dihadapkan kepada raja Nashir.
Bisa dibayangkan tadinya membela sekarang menjadi musuh, sekarang begitu berkuasa lagi dipanggail semua, dihadapkan kehadapannya. Wallahu A’lam
Ditulis dan Dikontribusikan oleh Al-Akh Suparlin Abdurra
Akhlaaqul kibar (orang yang memiliki jiwa yang besar), mereka itulah orang-orang yang berakhlak dengan akhlak yang tinggi, mereka meninggalkan akhlak-akhlak yang rendah serta perkara-perkara yang hina. Termasuk disini adalah semuanya, baik itu dari kalangan ulama, du’at dan kaum muslimin pada umumnya.
Yang dimaksud akhlaaqul kibar disini adalah orang yang berjiwa besar, bukan orang yang berjiwa kerdil yang jika dipuji dia senang dan apabila dicela dia marah, memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, hanya karena jengkel atau marah. Atau menjalin silaturahmi hanya karena senang dengan orang-orang tertentu  kemudian memutuskan hubungan  silatuhrahmi hanya karena tidak senang dengan orang tertentu dan karena sebab-sebab tertentu pula. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang tersebut mengkritik atau mengejek dirinya.
Orang yang berakhlak kibar bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan yang tinggi. Dalam bahasa Arab اْلكَبَارُ bisa berarti tua dan bisa berarti besar jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang ketika menyikapi sesuatu untuk kepentingan yang besar, untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, bukan untuk kepentingan dirinya. Orang-orang yang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut-sebut dan kita sebarkan kisah-kisah mereka untuk menjadi pelajaran bagi kita.
Kita sangat perlu dengan materi seperti ini karena masalahnya yang begitu penting. Kita melihat berapa banyak khitbah yang dibatalkan, berapa banyak hubungan kecintaan yang dulunya terjalin berubah menjadi permusuhan, berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrowi (dakwah) bubar hanya karena orang-orang yang berjiwa kerdil. Dia tidak rela apabila ada atau muncul kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu langsung putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin beberpa waktu yang lalu. Semua itu berubah menjadi permusuhan dan kebencian yang disebabkan adanya kesalahan dan kekurangan yang muncul dari orang lain terhadap dirinya. Kemudian dia menjadi orang yang mudah membenci, orang yang mudah mencela,  orang yang berbuat hal-hal kurang pada dirinya. Semua perbuatan diukur dengan timbangan hawa nafsunya yang apabila menyenangkan dirinya, ia senangi dan apabila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini muncul karena ada orang-orang yang lebih memilih pada asal penciptaannya yaitu tanah. Manusia diciptakan dari dua unsur yaitu unsur tanah dan unsur ruh.
Kita tahu bahwa tanah berada dibawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu dengan hal-hal yang hina dan itu kembali ke asal penciptaanya yaitu tanah, dia berakhlak dengan akhlak yang rendah, akhlak yang hina.
Berbeda dengan orang-orang yang mulia, dia selalu mengukur sesuatu dengan hal-hal yang tinggi  dan mulia. Itulah sifat yang kedua dari penciptaan manusia  yaitu ruh.
Orang yang berjiwa besar adalah orang-orang yang selalu berusaha melepaskan ikatan-ikatan yang melingkupi jiwanya, tidak melihat semua dengan ukuran hawa nafsunya. Ketika dia bisa melewati ikatan-ikatan tersebut, maka dia masuk pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu orang yang bisa melepaskan semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari orang lain. Orang yang ingin mencapai derajat yang tinggi tidak mungkin dapat mencapainya tanpa jiwa seperti ini dan berakhlak sebagaimana telah disebutkan.
Ketika kita berbicara tentang tema ini, kita tidak membicarakannya untuk orang lain, melaikan pertama untuk diri saya pribadi dan kedua para hadirin semua. Artinya jangan sampai ketika kita membicarakan hal ini kita berpikir “ini untuk Si Fulan yang akhlaknya masih kurang, ini untuk Si Filan yang memang akhlaknya tidak seperti ini”. Jangan kita bayangkan ketika kita berbicara tentang ini, pembicaraan ini ditujujukan pada orang-orang tertentu, tetapi yang perlu kita lakukan adalah menghadirkan diri kita, hati kita untuk memperhatikan materi ini.
Jadilah orang yang berfikir, orang yang hadir dengan hatinya dan kemudian datang untuk istifadah. Perbaharuilah hidupmu, dan tingkatkanlah akhlakmu, kemudian berubahlah.  Kemudian pulang dari tempat ini dengan wajah yang berubah dengan suasana yang berubah dengan akhlak yang berubah.
Materi ini ditujukan kepada semua kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan orang-orang yang punya jabatan, baik jabatan yang tinggi maupun rendah. Juga ditujukan kepada pra bapak, ibu kemudian para pendidik dan para pengajar serta orang awam pada umumnya dan ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan.
Mungkin ada diantara kita yang tidak rela disifati dengan sifat yang kerdil, hidup dalam cara berfikir yang sempit, degan hati yang sempit, dan dengan jiwa yang sempit juga. Semua orang sepakat bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, suatu yang terpuji dan suatu yang mulia dan semua jiwa pasti merindukannya.
Seandainya dakwah Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam dakwahnya hanya bertujuan pada akhlak saja tentu orang-orang akan mengikuti dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahulloh, “Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada akhlak, sebagaimana Rasululloh shallallâhu ‘alaihi wa sallam kalau dakwahnya hanya tertuju pada akhlak, tanpa membahas kemusyrikan, tauhid, tentu orang-orang akan mengikuti dakwahnya”.
Semuanya sepakat dalam teori, baru dalam prakteknya kelihatan sendiri. Semua orang bisa bicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam prakteknya akan terlihat aslinya.
Yang penting bukannya orang menganggap baik, kemudian orang senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling penting adalah perubahan dan ada akhlak yang berubah.
Orang yang halus atau orang yang lembut bukanlah orang yang lembut hanya saat senang, tapi juga pada saat marah dia dapat bersifat lembut. Yang namanya akhlak bukan hanya kita dapat tersenyum kepada saudara kita pada saat bersama teman-teman kita, bersama orang-orang yang duduk di majlis bersama kita, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.
Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati Dzat-Nya dengan sifat العفو al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala العفو al ‘afuu adalah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala membiarkan hamba-Nya, mengampuni hamba-Nya yang berbuat kesalahan dan tidak memberikan adzab kepada hamba-Nya secara langsung ketika hamba-Nya durhaka kepada-Nya. Kita memohon pada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala agar Dia menaungi kita semua dengan segala ampunan-Nya dan dengan segala kemurahannya.
Ketika kita mendengar beberapa sifat ini yang manjadi pertanyaan pada diri kita adalah apakah kita punya sifat-sifat ini? Atau kita termasuk orang yang ketika  melihat ini ternyata akhlak  tersebut banyak melekat dalam diri kita sehingga ketika kita berurusan dengan orang lain kita sampai bermusuhan dan kita membuat hitung-hitungan dengan mereka.
Banyak diantara kita yang masih rancu untuk mebedakan antara membela diri sendiri dan membela agama. Kadang-kadang dia balas dendam kepada orang lain akan tetapi dia mengatasnamakan agama, mengatasnamakan aqidah, mengatasnamakan keimanan, yang sebenarnya dia membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, akan tetapi dia merasa membela Alloh Tabaraka Wa Ta’ala. Ada juga yang mengatasnamakan ‘izzah (kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin  adalah orang yang memiliki ‘izzah, kerena sesungguhnya ‘izzah itu milik Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, milik rasul-Nya, dan milik orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya kadang-kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau semua yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.
Banyak orang yang rancu atau mencampur adukkan antara dia mempertahankan dirinya sendiri atau hawa nafsunya, mempertahankan agama, kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Sehingga apabila dia marah, apabila dia membalas, dia mengira bahwa ini dalam rangka  betul-betul mempertahankan jati dirinya sebagai seorang muslim. Padahal dia sebetulnya mempertahankan hawa nafsunya. Ia beralasan dengan firman Alloh Azza  Wa Jalla, yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (QS.As-Syura: 39).
Padahal sudah ma’lum (diketahui) bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal dengannya menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan kita. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artuinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia”.(QS. Fushilat: 34).
Akan tetapi, tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar,  dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (QS. Fushilat:35).
Akan tetapi, kemudian datanglah syaitan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika dia tidak melakukan pembelaan ini dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan ‘lemah’ atau ‘kurang.’  Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS. Fushilat:36).
Berapa banyak orang-orang yang lupa bahwa Alloh Subhanallohu wa Ta’ala mensifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberikan pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya. Wallahu A’lam (Bersambung ke Artikel Kisah Nyata Orang Yang Memiliki Jiwa Besar)
Ditulis dan Dikontribusikan oleh Al-Akh Suparlin A
Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalamulloh, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur’anul Karim itu Kalamulloh yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala.
Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam,  yang artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan, yang artinya: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi syafa’at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya).” (HR. Muslim).
Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an, di saat membaca Al-Qur’an seorang Muslim perlu memperhatikan adab-adab yang akan disampaikan pada tulisan berikut ini.
Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur’an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma’ umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59).
Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami” (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-KitabSunan).
Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit g, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
Di dalam sebuah ayat Al-Qur’an, Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih, yang artinya: “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’ (QS. Al-Isra’: 109).
Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Di dalam hadits lain dijelaskan: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj huruf nya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid.
Membaca Al-Qur’an dimulai dengan Isti’adzah.Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk” (QS. An-Nahl: 98).
Apabila ayat yang dibaca dimulai dari awal surat, setelah isti’adzah terus membaca Basmalah, dan apa bila tidak di awal surat cukup membaca isti’adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti’adzah saja.
Membaca Al-Qur’an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalam nya. Firman Alloh Ta’ala, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati    mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24).
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu’. Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur’an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad).
Dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya: “Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur’an)” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Bai  haqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim).
Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur’an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam.
Dengarkan bacaan Al-Qur’an. Jika ada yang membaca Al-Qur’an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan tatkala dibacakan Al-Qur’an, maka dengar kanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat” (QS. Al-A’raaf: 204).
Membaca Al-Qur’an dengan saling bergantian yang bertujuan untuk pendidikan atau mempelajari Al Qur’an. Yang mendengarkannya harus dengan khusyu’ dan tenang. Rasulullah  bersabda, yang artinya: “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Alloh, mereka membaca Al-Qur’an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Alloh), para malaikat menyertai mereka, dan Alloh membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya.” (HR. AbuDawud).
Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konse kuensi kita beriman ke-pada Al-Qur’an.
(Sumber Rujukan: Minhajul Muslim, Fiqih Sunnah, At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur’an)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Alloh Subhanahu wa Ta’ala, kebaikan dan kesempurnaan nikmat-Nya kepada mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’.Pertama: Tindakan Preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awudz sesuai dengan tuntunan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, diantaranya seperti di bawah ini:
  • Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid atau ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al Qur’an. Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya, yang artinya: “Barangsiapa membaca ayat Kursi pada amalam hari, Alloh senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai shubuh”. Ayat Kursi terdapat dalam surat Al Baqoroh ayat 255 yang artinya: “Alloh tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Alloh tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengtahui apa –apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Alloh tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
  • Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-falaq, dan surat An-naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi haru sewsudang shalat shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
  • Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh yaitu ayat 285 – 286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yang artinya: “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh pada malam hari, maka cukuplah baginya”.
  • Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna. Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang artinya: “Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan:’ A’udzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Alloh yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu”. (HR: Muslim).
  • Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam: “Bismillahilladziilaa ya dhurru ma’asmihi syai-un fiilardhi w alaa fiissamaaa’i wa huwassamii’ul ‘aliim. (Dengan Nama Alloh, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatupun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui). (HR: Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Bacaaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir dan kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bertumpu dan pasrah kepada-Nya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
  • Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a syar’i) sahabat-sahabatnya dengan bacaan: “Allahumma robbinnaasi adzhibil ba-sa wasyfi antasy syaafii laa syifaa-a illaa syfaa-uka syifaa-allaa yughoodiru saqomaa” (Ya Alloh, Tuhan segenap manusia..! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dari-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”.(HR: Muslim).
  • Do’a yang dibaca Jibril ‘Alaihi Sallam, ketika me-ruqyah Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. “Bismillahi arqiika min kulli syai-in yu-dziika wa min syarriin kulli nafsinn aw ‘aini khaasid. Allahu yasyfiika bismillaho arqiika” (Dengan Nama Alloh, Aku meruqyahmu dari segala yang meyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Alloh menyembuhkanmu, dengan Nama Allah aku Meruqyahmu”.
    Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
  • Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjima’ (hubungan seks) dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
  • Cara pengobatan lainnya, sebagi cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui dimana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.
Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun, ‘arraf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia. Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka baik hanya menanyakan apalagi yang membenarkan apa yang mereka katakan.
Kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Alloh melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agama-Nya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’at-Nya.
(Sumber Rujukan: Hukum Sihir Dan Perdukunan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Aziz bin Baaz, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Isl
Kita lahir ke dunia. Tumbuh menjadi besar. Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan jika beruntung meneruskan kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak. Jika umur panjang, masih bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung- canggah. Lalu mati. Itulah gambar kasar dari hidup kita. Lalu hari-hari hidup itu adalah bangun, mandi, makan pagi, bekerja atau sekolah, makan siang, mengisi waktu dengan berbagai aktivitas, mandi lagi, makan malam, dan tidur lagi. Kebanyakan dari kita melakukan hari-harinya seperti itu.
Lalu apa sebenarnya hidup kita ini ? Karl Marx  pernah berkata, ” Hidup itu perut kenyang”. Maksudnya hidup itu untuk makan (saja). Sedangkan Sigmund Freud berpendapat hidup itu pemenuhan kebutuhan seksual belaka, lain tidak. Jika kita tanya orang-orang di sekitar kita tentang ‘untuk apa kita hidup ?’ mungkin -dan sangat mungkin- jawaban yang kita peroleh adalah sebanyak orang yang kita tanyai. Maksudnya adalah satu orang menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda dari yang lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx berbeda dengan Sigmund Freud.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita hidup tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta, Alloh subhaanahu wa ta’ala. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu..” (QS: Adz-Dzaariyaat: 56).
Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.
Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah hidup kita ini hanya  untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ? Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya, lebih dulu harus kita pahami makna ‘ibadah’ itu.
Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta’ala, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi (batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.

Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), raja’ (mengaharap rahmat Alloh subhaanahu wa ta’ala), mahabbah (cinta kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), tawakkal adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir, tahmid adalah ibadah lisan dan hati. Sedangkan shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, membantu orang kesulitan adalah ibadah badan dan hati.

Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala) atau apa saja yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala. Seperti tidur, makan, minum, jual beli, bekerja mencari nafkah, menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu tidaklah sempit cakupannya, bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Sebagai contoh ibadah di luar masjid adalah bekerja. Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bekerja dan memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: ” Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari hasil kerjamu sendiri” (HR: Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari ‘A-isyah dengan sanad shahih).

Ketika para sahabat menyaksikan seorang laki-laki berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, ” Seandainya (saja) ia berjalan di jalan Allah (berjihad).” Kemudian Nabi Shallaallaahu  ‘alaihi wa sallam meluruskan pernyataan tersebut dan bersabda, yang artinya: “Jika ia keluar mencarikan nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang sudah tua, maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah untuk dirinya dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik, maka ia di jalan Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya’ (pamer) dan sombong, maka ia di jalan setan. ” (HR. Ath-Thabrany dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad shahih).

Rasululloh shallaalaahu ‘alaihi wa sallam -yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam beribadah-  pada waktu kecil bekerja menggembala kambing dengan upah beberapa dinar. Kemudian beliau juga pernah berdagang. Begitu pula dengan para salafush-sholih (para pendahulu Islam yang sholih) mereka juga mencari nafkah dan membenci pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu ‘anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah bekerja sebagai penulis kitab bayaran.

Jadi merupakan pandangan yang salah jika ada orang yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu saja, bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang diniatkan untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala dan menjaga kehormatan muslim serta harus dengan cara yang halal. Jika bekerja namun diniatkan untuk menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa memikirkan hak anak, istri, orang tua serta ditempuh dengan cara yang haram masih ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan mncari ilmu agama misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini tidaklah bernilai ibadah, bahkan hanya menambah dosa.

Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika kita telah berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.
Agar bisa diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan syarat: Ikhlas karena Alloh subhaanahu wa ta’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil & Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu ‘alaihi wa sallam

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha ilaaLlaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammadur-Rasululloh karena ia menuntut wajibnya ta’at keada Nabi, mengikuti tuntunannya dan meninggalkan bid’ah (ibadah atau cara beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh subhaanahu wa ta’ala, yang artinya: ” Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun (terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al-Kahfi :110).

Kalimat “..maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih..” merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena amal shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi. Sedangkan “..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya.” meruplakan manifestasi syarat pertama, yaitu keharusan ikhlash.

Dua syarat ini merupakan keharusan yang mutlak. Jadi adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak pernah dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya : ” Yang penting kan niatnya” atau ” Yang penting kan ikhlas”.

Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak pernah membolehkannya) maka amal itu ditolak” (HR: Al-Bukhary dan Muslim ). Begitu pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan Nabi namun niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa jalla.

Dua syarat ini haruslah dipahami dan berusaha terus untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu saja merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim banyak ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh subhaanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, langkah awal seorang muslim agar tujuan hidupnya tercapai adalah belajar dulu bagaimana cara beribadah yang benar dan dapat diterima. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji, tidak pernah belajar agama  bisa benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya kita ini adalah ibadah -yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain tidak.

Maka marilah kita hidupkan semangat mencari ilmu agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima oleh Allah, sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup kita tercapai. Marilah kita baca Al-Qur’an, kita pelajari isinya melalui buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya melalui majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah sampai di kuburan nanti.

(Sumber Rujukan: Kitab Tauhid, Asy-Syaikh Dr. Shaleh Al F
Seorang Muslim diajarkan oleh Syariat Islam yang sempurna ini untuk meyakini dan mengamalkan bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalil-dalail berikut; Firman Allah Ta’ala: “Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat den tetangga yang jauh”  (An Nisa’:36)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga, hingga aku beranggapan bahwa ia akan mewarisi” ( Mutafaq Alaih) Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah memuliakan tetangganya.”(Mutafaq Alaih)
Etika terhadap tetangga adalah sebagai berikut:
Tidak menyakitinya dengan ucapan atau perbuatan, karena sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari AKhir, maka janngan menyakiti tetangganya” (Mutafaq Alaih)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , Siapakah orang yang tidak beriman, wahai Rasulullah ? Beliau bersabda, Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya” (Mutafaq Alaih)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wanita tersebut masuk neraka”
Sabda di atas ditujukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada wanita yang konon berpuasa di siang hari dan qiyamul lail di malam hari, namun menyakiti tetangganya.
Berbuat baik kepadanya dengan menolongnya jika ia meminta pertolongan, membantunya jika ia meminta bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, menghiburnya jika ia mendapat musibah, membantunya jika ia membutuhkan, memulai ucapan salam untuknya, berkata kepadanya dengan lemah lembut, santun ketika berbicara dengan ayah tetangganya, membimbingnya kepada apa yang di dalamnya terdapat kebaikan agama dan dunianya, melindungi area tanahnya, memaafkan kesalahannya, tidak mengintip auratnya, tidak menyusahkannya dengan bangunan rumah atau jalannya, tidak menyakiti dengan air yang mengenainya, atau kotoran yang dibuang di depan rumahnya.
Itu semua perbuatan baik yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala, Tetangga dekat dan tetangga yang jauh. (An Nisa:36)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsipa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berbuat baik kepada tetanggany”  (Diriwayatkan Al-Bukhari)
Bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, karena sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Hai wanita-wanita Muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya yang lain, kendati hanya dengan ujung kuku kambing” (Diriwayatkan Al Bukhari)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu: “Hai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah maka perbanyaklah airnya, kemudia berikan kepada tetanggamu” (Diriwayatkan Al Bukhari)
Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Aku mempunyai dua tetangga, maka yang mana yang berhak akau beri hadiah? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Kepada orang yang pintu rumahnya lebih dekat kepadamu” (Mutafaq Alaih)
Menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya, tidak menjual atau menyewakan apa saja yang menyatu dengan temboknya, dan tidak mendekat ke temboknya hingga ia bermusyawarah dengannya berdasarkan sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Salah seorang dari kalian jangan sekali-kali melarang tetangganya meletakkan kayu di dinding rumahnya” (Mutafaq Alaih)
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa mempunyai kebun bersama tetangga, atau mitra, maka ia tidak boleh menjualnya, hingga ia bermusyawarah dengannya” (Mutafaq Alaih)
Ada dua manfaat yang kita dapatkan dari etika-etika di atas:
Pertama: Seorang muslim mengenal dirinya jika ia telah berbuat baik kepada tetangganya, atau berbuat yang tidak baik terhadap mereka, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau telah berbuat baik maka engkau memang telah berbuat baik, dan jika engkau mendengar mereka berkata bahwa engkau berbuat salah maka engkau memang telah berbuat salah” (Diriwayatkan Al Hakim dan ai meng-shahih-kannya).
Kedua: Jika seorang Muslim diuji dengan tetangga yang brengsek, hendaklah ia bersabar, karena kesabarannya akan menjadi penyebab pembebasan dirinya dari gangguan tetangganya. Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam guna mengeluhkan sikap tetangganya, kemudian beliau bersabda kepadanya, Sabarlah! Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau keempat kalinya kepada orang tersebut, Buanglah barangmu di jalan. Orang tersebut pun membuang barangnya di jalan. Akibatnya, orang-orang berjalan melewatinya sambil berkata,Apa yang terjadi denganmu? Orang tersebut berkata, Tetanggaku menyakitiku. Orang-orang pun mengutuk tetangga yang dimaksud orang tersebut hingga kemudian tetangga tersebut datang kepada orang tersebut dan berkata kepadanya, Kembalikan barangmu ke rumah, karena demi Allah, aku tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. (Diriwayatkan Ahmad)
(Sumber Rujukan: Minhajul Muslim, Karya Abu Bakr Jabir Al-Jazairi)
Setiap manusia tentu memiliki hati. Hati inilah yang mempengaruhi tabiat dan sifat seseorang. Apabila hati ini baik, maka manusia tersebut akan memiliki sifat yang terpuji. Namun jika hati yang dimiliki seorang manusia telah penuh dengan niat jahat, dapat dipastikan bahwa tingkah laku orang tersebut tidak akan jauh dari tindakan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad saw:
“Ketahuilah, sesungguhnya pada setiap jasad ada sekerat daging, apabila dia baik maka baik seluruh anggota jasad, apabila dia jelek maka jelek semua anggota jasad, ketahuilah dialah hati.” (HR. Bukhori)
Perubahan sifat yang ada dalam hati ini terjadi dengan sangat cepat. Semua itu terjadi semata karena kekuasaan yang dimilii Allah SWT. Dia-lah yang membolak-balikkan hati manusia sesuai dengan kehendak-Nya. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut:
“Dinamakan hati (al-qolbu) karena cepatnya berubah.”(HR. Ahmad)
“Perumpamaan hati adalah seperti sebuah bulu di tanah lapang yang diubah oleh hembusan angin dalam keadaan terbalik.” (HR. Ibnu Abi Ashim)
“Sesungguhnya hati-hati anak Adam berada di antara dua jari-jari Alloh layaknya satu hati, Dia mengubah menurut kehendak-Nya.” (HR. Muslim)
“Ya Alloh, Dzat yang membolak-balikkan hati, condongkanlah hati kami untuk selalu taat kepada-Mu.” (HR. Muslim)
Meskipun demikian, kita harus terus berupaya untuk menjaga hati kita agar tidak terkena penyakit hati, yang menyebabkab kita tersesat dari jalan yang diridhoi Allah SWT. Begitu banyak penyakit yang dapat hinggap dalam hati kita, baik kita sadari maupun tidak.
Penyakit-penyakit hati tersebut dapat diketahui dengan melihat perilaku yang ditampilkan oleh seseorang dalam kesehariannya. Perilaku yang mencerminkan rusak dan sakitnya hati seseorang  diantaranya adalah:
1.    Melakukan kedurhakaan dan dosa
Di antara manusia ada yang melakukan kedurhakaan terus-menerus dalam satu jenis perbuatan. Ada pula yang melakukan dalam beberapa jenis bahkan semuanya dilakukan dengan terang-terangan, padahal Rosululloh bersabda:
“Setiap umatku akan terampuni kecuali mereka yang melakukan kedurhakaan secara terang- terangan.” (HR. Bukhori)
2.    Merasakan kekerasan dan kekakuan hati
Keras dan kakunya hati seseorang membuat orang itu tidak memiliki sensitifitas terhadap masalah-masalah yang menimpa saudaranya sesame muslim. Hal ini karena ia tidak akan mampu dipengaruhi oleh apapun juga, dan hanya akan bertumpu pada keinginan pribadinya.
3.    Tidak tekun beribadah
Ketekunan dalam beribadah merupakan sesuatu hal yang wajib kita laksanakan. Dalam beribadah kita harus benar-benar memperhatikan dengan seksama setiap gerakan dan ucapan/bacaan serta doa. Sedangkan orang yang hatinya mulai diliputi oleh “penyakit” tidak akan mampu tekun dan memperhatikan apa yang dilakukannya dalam beriadah.
4.    Malas dalam ketaatan dan ibadah
Kalaupun ia beribadah, maka ibadah tersebut hanyalah sekedar rutinitas belaka, dan “kosong”. Masuk dalam kategori ini ialah perbuatan–perbuatan yang tidak dilakukan dengan mempedulikan nilai dari perbuatan tersebut atau meremehkan waktu-waktu yang tepat untuk melakukannya. Misalnya, melakukan sholat-sholat di akhir waktu, atau menunda-nunda haji padahal sudah ada kemampuan untuk melaksanakan.
5.    Perasaan gelisah dan resah karena masalah yang dihadapi
6.    Tidak tersentuh kandungan ayat-ayat suci Al Qur’an
7.    Lalai dalam dzikir dan doa
8.    Lalai dalam amar ma’ruf nahi munkar
Bara ghiroh dalam hati telah padam, tidak menyuruh kepada yang ma’ruf, tidak pula mencegah dari yang mungkar. Pada puncaknya, dia tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengetahui yang mungkar. Segala urusan dianggap sama
9.    Gila kehormatan dan popularitas
Termasuk di dalamnya, gila terhadap kedudukan ingin tampil sebagai pemimpin yang menonjol dan tidak dibarengi dengan kemampuan yang semestinya.
“Sesunguhnya kamu sekalian akan berhasrat mendapatkan kepemiminan dan hal ini akan menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Bukhori)
10.    Bakhil dan kikir atas hartanya
Allah SWT memuji orang-orang Anshor dengan firman-Nya:
“… dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr [59]: 9)
Rosulullah saw bahkan bersabda :
“Tidaklah berkumpul pada hati seorang hamba selama-lamanya sifat kikir dan keimanan.” (HR. Nasai)
11.    Mengakui apa-apa yang tidak dilakukannya
Padahal penyakit ini yang menjadikan binasanya umat terdahulu. Alloh berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. ash-Shof : 2–3)
12.    Bersenang-senang diatas penderitaan umat muslim
13.    Hanya pandai menilai kadar dosa yang dilakukan dan tidak melihat pada siapa dosa itu dilakukannya
14.    Tidak peduli pada penderitaan sesama muslim
15.    Mudah memutuskan tali silaturahmi/persaudaraan
16.    Senang berbantah-bantahan yang mneyebabkan hatinya keras dan kaku
17.    Sibuk dalam urusan dunia semata
18.    Suka berlebih-lebihan
Penyembuhan
Perilaku tersebut diatas dapat dijadikan indikator awal akan adanya penyakit pada hati seseorang. Meskipun demikian, kita dapat menyembuhkan hati yang sakit tersebut dengan beberapa cara. Hal ini untuk mempertahankan keimanan yang ada dalam hati kita.
Rosulullah saw menggambarkan dalam salah satu sabda Beliau bahwa keimanan seorang hamba diibaratkan sebagai pakaian yang dibutuhkan untuk diperbaharui setiap saat. Beliau saw juga menggambarkan keimanan ibarat menatap bulan, terkadang bercahaya terkadang gelap, manakala bulan tersebut tertutup oleh awan maka hilanglah sinar dari rembulan tersebut, ketika gumpalan-gumpalan awan menghilang maka nampak kembali cahaya bulan tersebut.
Juga sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw :
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Bukhari)
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan seorang muslim sebagai upaya penyembuhan penyakit hati yang dideritanya:
1.    Membaca dan menyimak Al Qur’an
Allah SWT telah memastikan bahwa al-Qur’an adalah penawar dari penyakit, penerang dan cahaya bagi hamba Allah yang dikehendaki-Nya. Firman Allah SWT :
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman….” (QS. al-Isra’ : 82)
2.    Merasakan keagungan Allah SWT
Banyak dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengungkap tentang keagungan Alloh. Jika seorang muslim memperhatikan nash-nash tersebut, niscaya akan bergetar hatinya dan jiwanya akan tunduk kepada Dzat yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui sebagaimana firman Allah :
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. al-An’am: 59)
3.    Mencari dan mempelajari ilmu agama
Yaitu ilmu yang bisa menghasilkan rasa takut kepada Allah SWT dan menambah nilai keimanannya. Tidak akan sama keadaan orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui.
4.    Banyak berdzikir
Dengan berdzikir kepada Allah SWT keimanan bertambah, rohmat Allah datang, hati tenteram, para malaikat datang mengelilingi mereka, dosa-dosa terampuni. Rosulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, andaikata kamu tetap seperti keadaanmu di sisiku dan di dalam berdzikir, tentu para malaikat akan menyalami kamu di atas tempat tidurmu dan tatkala dalam perjalanan.” (HR. Muslim)
5.    Memperbanyak amal sholeh
Banyak hal yang dapat digunakan sebagai lading amal sholeh bagi kita. Sedangkan bentuk dan cara memperbanyak amal sholeh diantaranya adalah:
• Sesegera mungkin melaksanakan amal sholih
• Melaksanakan amal sholih secara terus-menerus
• Tidak gampang bosan dan capai dalam melaksanakannya
• Mengulang beberapa amal sholih yang terlupakan
• Senantiasa berharap apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT
6.    Rajin melakukan ibadah
Di antara rahmat Allah SWT ialah dengan diberikan-Nya beberapa macam peribadatan, sebagiannya berbentuk fisik seperti sholat, sebagiannya berbentuk materi seperti zakat, sebagiannya berbentuk lisan seperti dzikir dan do’a. Bahkan satu jenis ibadah bisa dibagi kepada wajib, sunnah, dan anjuran. Yang wajib pun terkadang terbagi kepada beberapa bagian. Berbagai jenis ibadah ini memungkinkan untuk dijadikan sebagai penyembuh dari penyakit hati atau lemahnya keimanan.
7.    Takut meninggal dalam keadaan su’us khotimah
8.    Banyak mengingat mati
Rosulullah saw bersabda:
“Perbanyaklah mengingat penebas segala kelezatan, yakni kematian.” (HR. Tirmidzi)
Di antara cara yang efektif untuk mengingatkan seseorang terhadap kematian ialah dengan berziarah kubur, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jenazah, dan lain-lain.
9.    Selalu ingat akan tibanya hari akhir
10.    Menelaah firman-firman Allah SWt yang terkait dengan peristiwa alam
11.    Bermunajat dan pasrah kpeada Allah SWT
12.    Tidak terlalu mengharap dunia
13.    Banyak melakukan ibadah hati
14.    Berdo’a kepada allah SWT agar dijaga keimanan kita
Semoga kita terhindar dari penyakit hati yang dapat melemahkan dan bahkan menghilangkan keimanan kita kepada Allah SWT. Dan semoga Allah SWT memberikan perlindungan kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin………
ati (bahasa Arab Qalbu) adalah bagian yang sangat penting daripada manusia. Jika hati kita baik, maka baik pula seluruh amal kita:
Rasulullah saw. bersabda, “….Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang dalam hatinya ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan akan mati dalam keadaan kafir.
“Orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya yang telah ada dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [At Taubah 125]
Oleh karena itu penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik karena bisa mengakibatkan kesengsaraan di neraka yang abadi.
Kita perlu mengenal beberapa penyakit hati yang berbahaya serta bagaimana cara menyembuhkannya.
Sombong
Sering orang karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong:
“Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa.
Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ “Uluumuddiin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina:
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?
‘Ujub (Kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah.
Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.
Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari) [HR Bukhari]
Jika kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang bersangkutan dilimpahi berkah.
Apabila seorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar. (HR. Abu Ya’la)
Dengki lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki:
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan pahala-pahala kita.
Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala seb
Allah Sentiasa Menerima Doa
Insan hendaklah bersangka baik dengan Allah. Meyakini bahawa Allah senantiasa melimpah ruahkan rahmatNya. Mendampingkan diri kepada Allah menerusi jendela perbuatan dan amalan yang diredhai. Apabila Allah redha kepadanya, maka dia akan merasakan betapa Allah itu hampir dan tidak jauh darinya.
Sebenarnya, insan itulah yang selalu menjauhkan dari Allah. Apabila dia ditimpa cubaan dia bertanya di mana Allah?!!. Sikap dan akhlak insan terhadap Allah selalu menyebabkan insan hilang pedoman, merasa diri dipencilkan dan tiada tempat yang ingin mendengar rintihannya. Sedangkan tempat untuk mengadu dan merintih senantiasa terbuka di sisi Allah.
Kadang-kala seseorang insan rela ke sana-sini memohon bantuan bagi sesuatu pekerjaan dan urusannya dari makhluk sehingga terlupa untuk memohon bantuan dan bertawakkal kepada Allah. Bersusah payah insan berjumpa orang lain demi mengadu rasa hati dan derita sehingga dia lupa untuk mengadu kepada Allah yang senantiasa mendengar rintihan hamba dengan penuh rahmat.
Ini semua kerana insan merasakan Allah itu jauh darinya dan dia lupakan firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 186 yang bermaksud:
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya engkau (Wahai Muhammmad) tentangKu, (maka jawablah) sesungguhnya Aku ini hampir, Aku menjawab seruan sesiapa yang berdo`a kepadaKu apabila dia berdo`a. Maka hendaklah dia menyahut seruan (menunaikan perintahKu) dan beriman kepadaKu mudah-mudah mereka selalu berada di atas petunjuk"
Ya! Allah itu hampir dan amat sudi untuk segala do`a yang diangkat kepadaNya. Justeru itu sangat menghairankan bila adanya insan yang meninggalkan do`a kepada Allah yang hampir kepadaNya lalu mendapatkan makhluk-makhluk yang tidak terdaya untuk mengadu segala rasa hati dan dukacita. Padahal kita tahu bahawa sikap makhluk apabila terlalu banyak diminta maka bertambah rasa bosannya sedangkan Allah pula lagi banyak kita mengadu dan meminta bertambah pula kasih dan sayangNya.
Allah tidak jauh daripada setiap hamba. Yang menjadikan Allah itu jauh daripada kita ialah diri kita sendiri. Hati yang tidak merasai kewujudan dan rahmat Allah serta kefahaman yang tidak betul terhadap agama selalu menjauhkan perasaan manusia daripada Allah.
Sesiapa yang hatinya bersih akan menangislah dia apabila membaca ayat di atas. Betapa Allah dengan penuh kasih sayang meminta kepada RasulNya agar memberitahu bahawa Dia sangat hampir kapada mereka serta mendengar do`a dan rintihan mereka.
Kita diajar di dalam Islam agar senantiasa bergantung kepada Allah nescaya kita dapati Allah senantiasa bersama kita. Sabda Nabi s.a.w kepada Ibnu `Abbas ketika itu dia masih kecil:
Maksudnya:
Wahai anak kecil! Sesungguhnya aku ingin mengajarmu beberapa kalimat, iaitu, jagalah Allah (jagalah perintahNya) nescaya Allah menjagamu. Jagalah Allah (jaga perintahNya) nescaya engkau dapati Dia berada di hadapanmu (menunaikan keperluanmu). Apabila engkau memohon pohonlah daripada Allah. Apabila engkau meminta pertolongan minta tolonglah daripada Allah.
(Riwayat al-Tirmizi hadith ke-2516, katanya hadith ini hasan sahih)
Apabila seseorang menjaga agamanya, memelihara tanggungjawabnya sebagaimana dititah perintahkan Allah kepadanya, maka dia akan merasa betapa Allah bersama dengannya semua urusannya.
Firman Allah dalam Surah al-Ghafir ayat 60 yang bermaksudnya: "Dan Tuhan kamu berfirman: "Berdo`alah kepadaKu nescaya Aku menjawab untuk kamu"
Mungkin akan ada yang bertanya: "Allah telah memberitahu bahawa Dia pasti menerima do`a sesiapa yang berdo`a kepadaNya namun mengapa masih ada insan yang berdo`a tetapi kesan do`anya tidak dapat dilihat secara zahir?". Untuk itu, maka para `ulama telah menjawab persoalan ini, antaranya, apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-Qurtubi dalam al-Jami' li Ahkam al-Quran bahawa perkataan ajib dan astajib (aku memperkenankan do`a) bukanlah bererti semestinya setiap do`a itu ditunaikan secara mutlak atau terperinci seperti yang dipohon.. Bahkan do`a seseorang mungkin dimakbulkan melalui salah satu dari tiga cara seperti yang disebutkan oleh baginda Nabi s.a.w. dalam hadith Abi Sa`id al-Khudri di bawah:
Maksudnya:
"Tidak ada seorang muslim pun yang berdo`a dengan sesuatu do`a yang tidak ada di dalamnya dosa atau memutuskan kekeluargaan, melainkan Allah akan beri salah satu dari 3 perkara; sama ada disegerakan untuknya (dimakbulkan di dunia), ataupun disimpan untuknya pada hari akhirat (diberi balasan baik pada akhirat), ataupun diselamat dia dari keburukan yang seumpamanya."
Kata al-Imam al-Syaukani dalam Tuhfah az-Zakirin : Hadith ini riwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Bazzar, Abu Ya'la, kata al-Munziri: Sanadnya sahih (m.s. 65, cetakan. Lubnan)
Menerusi hadith di atas, baginda Nabi s.a.w. telah menerangkan kepada kita bahawa setiap do`a yang tidak mempunyai sebab-sebab ditolak akan pasti diterima oleh Allah menerusi tiga keadaan berikut;
Pertama: Dimakbulkan segara di dunia. Inilah yang biasanya menjadi harapan setiap yang berdo`a. Ramai di kalangan insan yang memperolehi kurniaan. Hasil kesungguhan mereka berdo`a, Allah makbulkan buat mereka. Kadang-kala dengan begitu pantas. Kadang-kalanya dilewat disebabkan hikmah yang Allah Maha Mengetahui. Tiada yang mustahil untuk Allah menerima do`a seseorang sekali dianggap mustahil oleh manusia. Lihatlah seorang wanita dari Aljeria yang mengidap penyakit barah yang segala doktor yang dia pergi mendapatkan rawatan mereka berputus asa. Akhirnya dengan aduan dan rintihan yang sungguh-sungguh kepada Allah, dia sembuh tanpa sebarang kesan barah yang mengkagumkan seleuruh pakar perubatan negaranya. Kata wanita itu: "Saya telah mengadu kepada Dia yang tiada tempat pergi dan lari dariNya, itulah Allah!!!. Demikian kiranya do`a dimakbulkan.
Kedua: Tidak dilihat kemaqbulannya di dunia tetapi disimpan untuk balasan kebaikan yang besar di akhirat di atas hikmah yang hanya dihendaki oleh Allah. Kalau ini berlaku hendaklah kita fahami bahawa ianya adalah pilihan terbaik daripada Allah untuk kita. Akhirat adalah kehidupan yang hakiki, kebaikan di sana tidak ada tukar ganti dengan dunia yang sementara. Allah tidak memaqbulkan sesuatu do`a secara mutlak di dunia kerana Allah Maha Mengetahui segala rahsia kehidupan alam,baik atau buruk di sebalik sesuatu perkara yang kita pohon. Akal kita kadang-kala tidak mampu menjangkau hakikat sesuatu. Umpamanya, seseorang yang memohon kepada Allah agar diberikan kemewahan yang melimpah, namun Allah tidak menunaikan hajatnya itu, lantas dia merasa diri tidak bernasib baik. Padahal Allah tidak menunaikan hajatnya itu kerana kasih-sayang Allah kepadanya. Allah mengetahui orang ini sekiranya dia berada dalam kemewahan, dia akan lupa kepada Allah maka rugilah kehidupan akhiratnya nanti. Allah ingin menyelamatkannya lalu ditangguh do`a tersebut untuk hari akhirat. Ini adalah contoh ringkas bagi memudahkan kefahaman pembaca. Oleh itu kepadaNya kita berserah. Bahkan apabila kita berada di alam akhirat nanti, kita akan berasa betapa beruntungnya segala do`a yang tidak dimaqbulkan itu ditangguh untuk diberi ganjaran besar ketika kita dihisab di Mahsyar kelak lalu segala do`a tersebut menjadi penyelamat kita dari keperitan neraka atau pengangkat darjat keistimewaan kita di syurga. Di sana nanti satu persatu do`a yang ditangguh itu ditunaikan dengan cara lebih baik dari yang dijangka oleh seseorang hamba.
Ketiga: Do`a diganti dengan keselamatan diri dari keburukan yang akan mengenainya. Hasilnya, betapa banyak keburukan yang insan terselamat darinya tidak dengan kehebatan atau kebijaksanaannya tetapi rahmat Allah yang barangkali datang hasil dari do`a-do`a kita yang berbagai kepada Allah.
Di samping itu semua, wajar diingatkan, perbuatan berdo`a itu adalah suatu ibadah. Insan dianggap melakukan kebaktian dan ibadah ketika dia berdo`a kepada tuhannya. Sama ada sesuatu do`a dimakbul atau tidak, pahala pasti ada di sisi Allah S.W.T.
Sabda Nabi s.a.w.
Maksudnya: "Do`a itu adalah ibadah"
(Riwayat al-Tirmizi hadith ke-3372, Abu Daud hadith ke-1479, Ibnu Majah hadith ke-3828. Kata al-Tirmizi: "Hadith ini hasan sahih Kata al-Syeikh Nasir al-Din al-Albani dalam Ahkam al-Janaiz: Hadith ini sanadnya sahih, seperti apa yang nyatakan oleh al-Hakim dan al-Zahabi.( m.s. 247. Ctk. Riyadh.)
Berdasarkan riwayat di atas kita dapat merasai betapa luasnya rahmat Allah. Bukan sahaja insan senantiasa dibuka peluang untuk meminta daripadaNya, bahkan setiap do`a yang dikemukakan dijadikan ibadat iaitu diberi balasan pahala di sisiNya. Demikian Allah Yang Maha Luas rahmatNya bertambah banyak pemohan kita kepadanya bertambah pula kasihNya kepada kita.
Sabda Nabi s.a.w.:
Maksudnya:
"Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah melebihi do`a"
(Riwayat al-Tirmizi hadith ke-3370, Ibnu Majah 3829. Kata al-Tirmizi hadith ini `hasan gharib)
Bahkan di sana terdapat dalil-dalil yang begitu banyak yang menggambarkan begitu besarnya kelebihan berdo`a. Ini kerana do`a adalah perlambangan tunduk serta rasa hina diri dan berhajatnya insan kepada pertolongan Allah yang Maha Berkuasa. Oleh itu berdo`alah kita kepadaNya dan jangan berputus asa dari rahmatnya
Sumber : Dr. Mohd Asri Zainul Abi