Rabu, 13 Juli 2011

Yuk kita belajar terus untuk qonaah

Imam Ghazali rah.a. berkata bahwa menahan lapar mengandung sepuluh faedah, yaitu :
Pertama, mudah memperoleh kebersihan hati, menjadi cerdas dan terbuka mata hati. Sebab apabila seseorang itu makan kenyang, maka ia akan malas dan cahaya hatinya akan hilang. Otaknya dikuasai sejenis demam yang berpengaruh ke hati. Pemikirannya menjadi lemah. Bahkan jika seorang anak-anak biasa makan kenyang, maka daya ingatnya menjadi lemah, dan daya nalarnya akan berkurang.
Abu Sualaiman Darani rah.a. berkata, “Biasakanlah dirimu menahan lapar, karena dengan menahan lapar itu nafsumu akan terkawal, hatimu menjadi lembut, dan ilmu langit akan didapat.”
Syibli rah.a. berkata, “Satu hari yang di dalamnya aku menahan lapar semata-mata karena Allah, maka dalam hari itu aku memperoleh satu pintu i’tibar dan hikmah pada diriku.” Inilah sebabnya Luqman al Hakim menasihati anaknya, “Wahai anakku, apabila perut seseorang itu penuh, maka pemikirannya akan tertidur, hikmahnya menjadi bisu, dan anggota-anggota badannya menjadi malas untuk beribadah.”
Abu Yazid al Bustami rah.a. berkata, “Lapar adalah seperti awan. Apabila seseorang itu lapar, maka awan itu akan menurunkan hujan hikmah ke dalam hatinya.”
Kedua, hati menjadi lembut dan mudah terpengaruh dzikir dan amal shalih lainnya. Biasanya, walau pun seseorang itu berdzikir dengan tawajjuh, tetapi hatinya tidak dapat merasakan kemanisan dzikir tersebut dan tidak terpengaruh olehnya. Apabila keadaan hati seseorang itu lembut, maka akan merasakan kemanisan dzikir, juga akan terasa olehnya kelezatan doa dan munajat. Abu Sulaiman Darani rah.a. berkata, “Aku merasakan ibadahku yang paling lezat ialah ketika perutku menyentuh pinggangku disebabkan kelaparan yang amat sangat.” Junaid Baghdadi rah.a. berkata, “Seseorang yang meletakkan sebungkus makanan antara dadanya dan Allah Swt., bagaimana ia akan memperoleh kemanisan bermunajat kepada Allah Swt?”
Ketiga, memperoleh sifat tawadhu dan rendah diri. Kesombongan yang merupakan puncak kedurhakaan dan kelalaian akan lenyap, karena nafsu tidak dapat dijaga ketat, kecuali dengan menahan lapar. Manusia tidak dapat melihat kemuliaan dan kehebatan Rabbnya, selama ia tidak melihat aib dan kehinaan nafsunya sendiri. Seseorang itu hendaknya sering menahan lapar, agar dapat bertawajjuh kepada Rabbnya dengan penuh semangat. Inilah sebabnya mengapa ketika Allah Swt. menawarkan kepada Rasulullah saw. untuk menjadikan bukit di Makkah menjadi emas, maka Rasulullah saw. menyatakan, “Tidak, aku ingin makan sehari dan lapar pada hari berikutnya, agar pada hari aku mengalami lapar, maka aku dapat bersabar dan meminta kepada-Mu dengan merendahkan diriku di hadapan-Mu; ketika aku makan, aku dapat bersyukur kepada-Mu.”
Keempat, mendatangkan sifat tidak melupakan orang lain yang terkena musibah kesusahan atau kelaparan. Orang yang makan kenyang, tidak akan dapat sedikit pun merasakan atau membayangkan apa yang dialami oleh orang-orang miskin yang kelaparan.
Nabi Yusuf a.s. pernah ditanya, “Khazanah bumi ada di dalam genggaman tuan, mangapa tuan masih menahan lapar?”
Beliau menjawab, “Aku takut jika perutku kenyang, lalu aku melupakan orang-orang yang lapar.”
Seseorang yang lapar dan haus maka ia dapat memperbaharui ingatannya mengenai kelaparan dan kehausan di hari Kiamat. Mudah mendatangkan rasa rakut kepada azab Allah Swt. dan mudah mengingat hari yang ketika itu ia akan merasakan kelaparan yang sangat dahsyat, lalu ia diberi makanan (buah yang penuh duri dan pahit) yang akan tersangkut di kerongkongannya serta diberi minum darah dan nanah dari luka-luka para penghuni neraka.
Kelima, yang terpenting yaitu akan selamat dari perbuatan dosa. Sebab perut yang kenyang adalah puncak syahwat, sedangkan lapar dapat menghancurkan segala jenis syahwat. Orang yang dikuasai nafsunya adalah orang yang malang. Kuda yang liar dan sulit diatur hanya bisa dikendalikan jika ia dibuat lapar. Jika ia banyak makan dan minum, maka ia sulit diatur. Demikian juga nafsu.
Seorang ahli wara’ ditanya, “Dalam usia yang sangat tua ini, mengapa anda tidak manjaga kesehatan tubuh (dengan memakan makanan yang menyehatkan badan)?” Ia menjawab, “Nafsu bergerak cepat ke arah syahwat. Aku khawatir, ia akan menjeratku dengan dosa. Sebab itulah aku lebih suka memberikan kesusahan kepadanya daripada ia menjeratku dengan perbuatan dosa.”
Aisyah r.ha. berkata, “Permulaan bid’ah kaum muslim setelah Rasulullah saw. wafat ialah makan kenyang. Apabila perut manusia penuh (kenyang), maka nafsu mereka menuju ke arah duniawi.”
Faedah yang dibahas ini bukanlah satu faedah saja, tetapi mengandung kumpulan banyak faedah. Faedah yang terendah ialah dapat meninggalkan syahwat kemaluan dan berkata sia-sia. Inilah satu-satunya penyebab manusia selamat dari mengumpat, berdusta, mencela dan mengadu domba. Apabila makan kenyang, maka hati manusia pun ingin banyak bicara. Dan ketika ia banyak bicara, maka ucapannya biasanya akan menyinggung kehormatan orang lain. Rasulullah saw. bersabda bahwa kebanyakan manusia akan masuk neraka karena menyalahgunakan ucapannya. Begitu juga syahwat kemaluan, ia akan membinasakan manusia. Hal itu sudah jelas dan tidak perlu diuraikan lagi.
Apabila perut manusia kenyang, maka sukar untuk menjaga hawa nafsu kemaluan; jika ada rasa takut kepada Allah, maka manusia akan dapat menjaga kemaluannya. Namun dosa pandangan mata akan terjadi, sedangkan Rasulullah saw. bersabda bahwa pandangan mata pun berzina, sebagaimana kemaluan berzina. Dan andai pun ia dapat menjaga pandangan matanya, namun hal itu tetap terlintas dalam fikirannya, sehingga dapat menghilangkan kemanisan bermunajat kepada Allah. Terkadang, khayalan jahat ini terlintas ketika shalat.
Pembahasan lidah dan kemaluan di sini hanya sekedar contoh. Sebenarnya, dosa semua anggota tubuh adalah berasal dari makan kenyang.
Keenam, apabila makan kurang, maka tidurpun akan kurang, sehingga memudahkan bangun malam. Seseorang yang makan kenyang, maka ia akan merasa haus, dan jika ia banyak minum air, maka ia akan tidur nyenyak. Masyaikh berkata, “Jangan banyak makan, nanti banyak minum air. Apabila banyak minum air, akan banyak tidur dan lebih lama, sehingga merugikan diri sendiri.”
Tujuh puluh orang ahli hikmah sepakat, bahwa apabila banyak minum air, maka tidur pun akan lebih lama. Dan jika tidur lebih lama, maka sebagian usianya akan habis begitu saja. Kehilangan shalat tahajjud adalah suatu kerugian yang diakibatkan oleh tidur lama. Apabila tidur lama-lama, maka badan akan menjadi lemas dan malas, dan hati akan berkarat. Jika ada isteri, maka akan terjadi hadats besar. Jika mandi besar pada masa tahajjud, maka waktu akan habis begitu saja.
Ketujuh, kemampuan untuk beribadah akan datang dengan mudah. Apabila makan kenyang, maka akan datang kemalasan sebagai pengahalang ibadah. Untuk urusan makan saja, memerlukan waktu yang lama. Jika makanan itu harus dimasak, diperlukan waktu yang lebih lama lagi. Setelah makan perlu membasuh tangan, mencukil gigi, bangun berulang kali untuk minum. Untuk hal-hal tersebut, telah menghabiskan waktu begitu saja. Jika masa-masa itu digunakan untuk mengingat Allah dan mengerjakan ibadah-ibadah yang lainnya, maka betapa besar manfaat yang akan diperoleh.
Sirri Saqti rah.a berkata, “Aku melihat al Jurjani sedang makan tepung goreng saja. Aku bertanya mengapa ia hanya memakan tepung goreng. Ia menjawab, “Setelah aku hitung waktu untuk mengunyah dan menelan setiap makanan itu, ternyata dalam waktu tersebut bisa untuk membaca Subhanallah sebanyak 70 kali. Oleh karena itu sejak 40 tahun, aku tidak makan roti lagi, karena untuk mengunyah dan menelannya, memerlukan waktu yang lama.”
Pada hakikatnya setiap pernafasan manusia adalah sangat berharga dan perlu dijaga untuk simpanan di akhirat. Caranya hanyalah dengan menggunakan masa hidup ini untuk berdzikir dan ibadah lainnya. Disamping itu apabila banyak makan, maka wudhu akan mudah menjadi batal, dan sering buang air. Akibatnya, seseorang tidak akan dapat duduk lama di dalam masjid, dan akan sering keluar masjid untuk buang air atau berwudhu. Barangsiapa biasa menahan lapar, maka mereka akan mudah berpuasa, beri’tikaf, senantiasa menjaga wudhu, menghemat waktu makan, dan untuk ibadah lainnya. Jadi betapa banyak faedahnya, dan hal ini hanya akan didapatkan jika mengurangi makan. Barangsiapa lalai dan tidak menghargai agama, maka mereka tidak akan menghargai masalah ini. Mereka berpuas hati dengan kehidupan dunia yang fana ini dan tidak mengetahui apa itu akhirat.
Kedelapan, dengan mengurangi makan, akan mendapatkan kesehatan tubuh. Kebanyakan penyakit berasal dari banyak makan. Apabila banyak makan, maka lemak akan berkumpul di dalam usus dan urat, akibatnya timbul bermacam-macam penyakit, sehingga terhalang untuk beribadah, dan hati senantiasa gelisah, sehingga menghalangi dzikir dan fikir. Di samping itu, perlu makan obat, terpaksa berpantang, harus menemui dokter, memeriksa tekanan darah, memeriksa tinja. Pendek kata, mereka akan terperangkap dalam banyak peraturan akibat banyak makan dan tentu karena masalah-masalah ini memerlukan banyak uang. Belum lagi, kesusahan dan penderitaannya. Hanya orang yang dapat menahan laparlah yang selamat dari musibah ini.
Dikisahkan, bahwa suatu ketika khalifah Harun al Rasyid rah.a. mengumpulkan empat pakar orang tabib. Yang pertama dari Hindustan, yang kedua dari Rum, yang ketiga dari Iraq, dan yang keempat dari Sawad. Dia berkata kepada keempat tabib tersebut, “Beritahukanlah kepadaku suatu obat yang tidak membahayakan sedikitpun.” Tabib Hindustan menjawab, “Menurut saya obat yang tidak berbahaya adalah Ihlailaj Aswad.“ Tabib Rum menjawab, “Saya rasa obat itu ialah Habbur Rasyadul Abyadh.” Tabin Iraq menjawab, “Pendapat saya, air panaslah yang tidak membahayakan apa-apa.” Tabib dari Sawad menjawab, “Semua itu salah. Ihlailaj Aswad akan mengacau perut, dan ia sendiri merupakan puncak dari segala penyakit (dan menurut Maulana Muhammad Zakariyya rah.a. zat itu akan membahayakan jantung) dan air panas akan mengendurkan perut.” Ketiga tabib itu berkata, “Sekarang, beritahukanlah obat apa yang tidak membahayakan sedikitpun.” Tabib dari Sawad menjawab, “Janganlah makan selama tidak sangat lapar atau sangat ingin makan. Dan berhentilah makan ketika masih ingin makan.” Maka ketiga tabib itu pun sepakat.”
Rasulullah saw. bersabda bahwa sebaiknya sepertiga bagian perut diisi dengan makanan, sepertiga diisi dengan air, dan sepertiga lagi dibiarkan kosong untuk udara. Ketika hadits ini didengar oleh seorang hakim filsafat, ia terperanjat dan berkata, “Aku tidak pernah mendengar perkataan yang demikian tepat dan baik untuk mengurangi makan, hingga hari ini, sebagaimana ucapan ini.” Tidak ragu lagi bahwa ini adalah kata-kata ahli hikmah.”
Kesembilan, mengurangi makan dapat mengurangi pengeluaran uang. Banyak makan menyebabkan banyak pengeluaran. Untuk menanggung perbelanjaan yang membengkak, terpaksa harus mencari pendapatan tambahan, baik dengan cara yang dibenarkan syari’at ataupun meminta-minta kepada orang lain.
Seorang ahli hikmah berkata, “Kebanyakan keperluanku telah aku sempurnakan dengan cara meninggalkannya. Dengan cara demikian aku merasa tenang dan tawajjuh.” Seorang ahli hikmah lainnya berkata, “Untuk menunaikan satu keperluan, jika perlu aku harus berhutang. Oleh karena itu aku berhutang pada nafsuku dengan cara memahamkan kepada nafsuku, bahwa nanti aku akan membayar hutangku itu kepadamu. Yakni keinginan nafsuku ketika itu aku biarkan sebagai hutangku padanya, dan aku akan membayarnya lain waktu.”
Apabila Ibrahim bin Adham rah.a. memerlukan sesuatu, maka ia akan memulai mengutuknya dan menghibahkan kepada kawan-kawannya, bahwa ia sudah memutuskan hubungannya dengan benda itu.
Penyebab terbesar kebinasaan seseorang itu ialah tamak terhadap dunia. Tamak berasal dari perut dan kemaluan. Kekuatan kemaluan juga disebabkan oleh ketamakan perut. Jika seseorang mengurangi makan, ia akan selamat dari musibah ini. Hanya orang yang dikaruniai taufiq oleh Allah sajalah yang bernasib baik.
Kesepuluh, mengurangi makan akan menyebabkan banyak bersedekah, mengutamakan orang lain, berkasih sayang, dan hemat makanan, karena kurang makan akan memudahkan seseorang untuk bersedekah kepada anak yatim, fakir miskin, dan yang ditimpa bencana. Inilah di antara bekal yang akan menjadi naungannya pada hari Kiamat. Rasulullah saw. bersabda, “Manusia akan berada di bawah naungan sedekahnya pada hari Kiamat. Jika seseorang banyak makan, maka setelah berubah menjadi najis (tinja), akan terkumpul di tempat busuk. Sedangkan yang tersimpan di khazanah Allah akan berguna selama-lamanya. Sedangkan yang menjadi najis akan musnah. Sabda Nabi saw. sebelumnya, yaitu manusia banyak mengatakan, “Hartaku, hartaku….. .” Padahal harta yang sebenarnya hanyalah tiga hal saja, yaitu: (1) yang telah ia selamatkan melalui sedekah; (2) yang telah habis ia makan; dan (3) yang telah dipakai sampai usang. Selain dari tiga hal itu, harta adalah milik orang lain dan ahli warisnya, dan ia sendiri tidak memilki apapun di dalamnya.
Di samping itu masih banyak keutamaan sedekah, dan sepuluh manfaat mengurangi makan telah dibahas secar ringkas. Setiap faedah itu mengandung banyak faedah-faedah yang lain. (Ihya)
Perlu diperhatikan satu hal yaitu tidak diragukan lagi bahwa semua kelebihan ini adalah benar. Barangsiapa yang diberi taufiq oleh Allah Swt. untuk mengamalkannya, tentu ia adalah orang yang sangat beruntung dan dapat menikmati kebahagiaan dunia dan agama, serta memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah di akhirat kelak.
Namun sangat perlu diperhatikan dan dipertimbangkan mengenai kemampuan seseorang untuk menahan lapar. Jangan sampai seperti ‘burung gagak yang mencoba menjadi itik lalu melupakan kepandaiannya sendiri.’ Ketika seseorang mencoba untuk mendapatkan yang lebih, mungkin ia akan kehilangan sesuatu. Ia mampu untuk mendapat sesuatu, walaupun dalam keadaan yang serba kurang. Oleh karena itu, walaupun harus memberi semangat kepada orang lain dalam masalah ini, namun berusahalah untuk memotivasi diri sendiri dengan mengamalkannya sebatas kemampuan. Jika orang sakit harus mengangkat beban yang berat, maka ia akan lebih cepat mati. Sedangkan kita adalah penderita penyakit rohani. Rohani kita telah dimatikan oleh jasmani dan anggota badan. Oleh sebab itu, dangan keinginan, usaha, semangat, dan kesungguhan demi kesehatan, hendaklah kita tidak sekali-kali melakukan perbuatan yang memperburuk keadaan kita, di mana hal itu sudah terjadi sekarang.
Imam Ghazali rah.a. berkata, “Hendaknya kebiasaan mengurangi makan dilakukan secara perlahan-lahan. Orang yang biasa banyak makan, kemudian tiba-tiba ia harus mengurangi makan, maka ia tidak akan dapat bertahan. Ia akan menjadi lemah dan bertambah susah. Karena itu dengan perlahan-lahan dan mudah, hendaknya perkara ini dilaksanakan. Misalnya, jika seseorang biasa makan dua piring roti, maka dari satu piring roti ia kurangi sepersepuluhnya setiap hari, sehingga ia terbiasa mengurangi separuh makanan dalam masa satu bulan (jika sukar untuk mengurangi sepersepuluhnya, maka dikurangi seperempat puluhnya)
Demikianlah manfaat dari menahan lapar, sangat besar dan sangat berfaedah. Setelah memahami perkara ini apakah kita pantas untuk berkecil hati dan putus asa serta selalu mengeluh jika di meja makan kita tidak tersedia sedikitpun makanan untuk dimakan. Mungkin setelah mempelajari dan memahami perkara ini anda akan semangat untuk berpuasa dan menahan perut anda dari masuknya makanan yang berlebihan. Serta anda menjadi lebih bersabar lagi menghadapi cobaan hidup yang serba kekurangan. Yakinlah bahwa Allah tak akan akan menyia-nyiakan kita sebagai hamba-Nya yang dikasihi. Semoga Allah Swt. senantiasa memberikan taufiq-Nya kepada kita semua sehingga kita mampu mengamalkan perkara ini. Dan semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni saya yang penuh dengan dosa.
Muslim dan Tarmidzi telah meriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir ra. dia berkata: Bukankah kamu sekarang mewah dari makan dan minum, apa saja yang kamu mau kamu mendapatkannya? Aku pernah melihat Nabi kamu Muhammad SAW hanya mendapat korma yang buruk saja untuk mengisi perutnya!
Dalam riwayat Muslim pula dari An-Nu’man bin Basyir ra. katanya, bahwa pada suatu ketika Umar ra. menyebut apa yang dinikmati manusia sekarang dari dunia! Maka dia berkata, aku pernah melihat Rasulullah SAW seharian menanggung lapar, karena tidak ada makanan, kemudian tidak ada yang didapatinya pula selain dari korma yang buruk saja untuk mengisi perutnya.
Suatu riwayat yang diberitakan oleh Abu Nu’aim, Khatib, Ibnu Asakir dan Ibnun-Najjar dari Abu Hurairah ra. dia berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW ketika dia sedang bersembahyang duduk, maka aku pun bertanya kepadanya: Ya Rasulullah! Mengapa aku melihatmu bersembahyang duduk, apakah engkau sakit? jawab beliau: Aku lapar, wahai Abu Hurairah! Mendengar jawaban beliau itu, aku terus menangis sedih melihatkan keadaan beliau itu. Beliau merasa kasihan melihat aku menangis, lalu berkata: Wahai Abu Hurairah! jangan menangis, karena beratnya penghisaban nanti di hari kiamat tidak akan menimpa orang yang hidupnya lapar di dunia jika dia menjaga dirinya di kehidupan dunia. (Kanzul Ummal 4:41)
Ahmad meriwayatkan dari Aisyah ra. dia berkata: Sekali peristiwa keluarga Abu Bakar ra. (yakni ayahnya) mengirim (sop) kaki kambing kepada kami malam hari, lalu aku tidak makan, tetapi Nabi SAW memakannya – ataupun katanya, beliau yang tidak makan, tetapi Aisyah makan, lalu Aisyah ra. berkata kepada orang yang berbicara dengannya: Ini karena tidak punya lampu. Dalam riwayat Thabarani dengan tambahan ini: Lalu orang bertanya: Hai Ummul Mukminin! Apakah ketika itu ada lampu? Jawab Aisyah: Jika kami ada minyak ketika itu, tentu kami utamakan untuk dimakan.
(At-Targhib Wat-Tarhib 5:155; Kanzul Ummal 5:155)
Abu Ya’la memberitakan pula dari Abu Hurairah ra. katanya: Ada kalanya sampai berbulan-bulan berlalu, namun di rumah-rumah Rasulullah SAW tidak ada satu hari pun yang berlampu, dan dapurnya pun tidak berasap. Jika ada minyak dipakainya untuk dijadikan makanan. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:154; Majma’uz Zawatid 10:325)
Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Urwah dari Aisyah ra. dia berkata: Demi Allah, hai anak saudaraku (Urwah anak Asma, saudara perempuan Aisyah), kami senantiasa memandang kepada anak bulan, bulan demi bulan, padahal di rumah-rumah Rasulullah SAW tidak pernah berasap. Berkata Urwah: Wahai bibiku, jadi apalah makanan kamu? Jawab Aisyah: Korma dan air sajalah, melainkan jika ada tetangga-tetangga Rasulullah SAW dari kaum Anshar yang membawakan buat kami makanan. Dan memanglah kadang-kadang mereka membawakan kami susu, maka kami minum susu itu sebagai makanan. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:155)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Aisyah ra. katanya: sering kali kita duduk sampai empat puluh hari, sedang di rumah kami tidak pernah punya lampu atau dapur kami berasap. Maka orang yang mendengar bertanya: Jadi apa makanan kamu untuk hidup? Jawab Aisyah: Korma dan air saja, itu pun jika dapat. (Kanzul Ummal 4:38)
Tarmidzi memberitakan dari Masruq, katanya: Aku pernah datang menziarahi Aisyah ra. lalu dia minta dibawakan untukku makanan, kemudian dia mengeluh: Aku mengenangkan masa lamaku dahulu. Aku tidak pernah kenyang dan bila aku ingin menangis, aku menangis sepuas-puasnya! Tanya Masruq: Mengapa begitu, wahai Ummul Mukminin?! Aisyah menjawab: Aku teringat keadaan di mana Rasulullah SAW telah meninggalkan dunia ini! Demi Allah, tidak pernah beliau kenyang dari roti, atau daging dua kali sehari. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:148)
Dalam riwayat Ibnu Jarir lagi tersebut: Tidak pernah Rasulullah SAW kenyang dari roti gandum tiga hari berturut-turut sejak beliau datang di Madinah sehingga beliau meninggal dunia. Di lain lain versi: Tidak pernah kenyang keluarga Rasulullah SAW dari roti syair dua hari berturut-turut sehingga beliau wafat. Dalam versi lain lagi: Rasulullah SAW telah meninggal dunia, dan beliau tidak pernah kenyang dari korma dan air.
(Kanzul Ummal 4:38)
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Baihaqi telah berkata Aisyah ra.: Rasulullah SAW tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut, dan sebenarnya jika kita mau kita bisa kenyang, akan tetapi beliau selalu mengutamakan orang lain yang lapar dari dirinya sendiri. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:149)
Ibnu Abid-Dunia memberitakan dari Al-Hasan ra. secara mursal, katanya: Rasulullah SAW selalu membantu orang dengan tangannya sendiri, beliau menampal bajunya pun dengan tangannya sendiri, dan tidak pernah makan siang dan malam secara teratur selama tiga hari berturut-turut, sehingga beliau kembali ke rahmatullah. Bukhari meriwayatkan dari Anas ra. katanya: Tidak pernah Rasulullah SAW makan di atas piring, tidak pernah memakan roti yang halus hingga beliau meninggal dunia. Dalam riwayat lain: Tidak pernah melihat daging yang sedang dipanggang (maksudnya tidak pernah puas makan daging panggang). (At-Targhib Wat-Tarhib 5:153)
Tarmidzi memberitakan dari Ibnu Abbas ra. katanya: Rasulullah SAW sering tidur malam demi malam sedang keluarganya berbalik-balik di atas tempat tidur karena kelaparan, karena tidak makan malam. Dan makanan mereka biasanya dari roti syair yang kasar. Bukhari pula meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Pernah Rasulullah SAW mendatangi suatu kaum yang sedang makan daging bakar, mereka mengajak beliau makan sama, tetapi beliau menolak dan tidak makan. Dan Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW meninggal dunia, dan beliau belum pernah kenyang dari roti syair yang kasar keras itu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:148 dan 151)
Pernah Fathimah binti Rasulullah SAW datang kepada Nabi SAW membawa sepotong roti syair yang kasar untuk dimakannya. Maka ujar beliau kepada Fathimah ra: Inilah makanan pertama yang dimakan ayahmu sejak tiga hari yang lalu! Dalam periwayatan Thabarani ada tambahan ini, yaitu: Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepada Fathimah: Apa itu yang engkau bawa, wahai Fathimah?! Fathimah menjawab: Aku membakar roti tadi, dan rasanya tidak termakan roti itu, sehingga aku bawakan untukmu satu potong darinya agar engkau memakannya dulu! (Majma’uz Zawa’id 10:312)
Ibnu Majah dan Baihaqi meriwayatkan pula dari Abu Hurairah ra. katanya: Sekali peristiwa ada orang yang membawa makanan panas kepada Rasulullah SAW maka beliau pun memakannya. Selesai makan, beliau mengucapkan: Alhamdulillah! Inilah makanan panas yang pertama memasuki perutku sejak beberapa hari yang lalu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:149)
Bukhari meriwayatkan dari Sahel bin Sa’ad ra. dia berkata: Tidak pernah Rasulullah SAW melihat roti yang halus dari sejak beliau dibangkitkan menjadi Utusan Allah hingga beliau meninggal dunia. Ada orang bertanya: Apakah tidak ada pada zaman Nabi SAW ayak yang dapat mengayak tepung? Jawabnya: Rasulullah SAW tidak pernah melihat ayak tepung dari sejak beliau diutus menjadi Rasul sehingga beliau wafat. Tanya orang itu lagi: Jadi, bagaimana kamu memakan roti syair yang tidak diayak terlebih dahulu? Jawabnya: Mula-mula kami menumbuk gandum itu, kemudian kami meniupnya sehingga keluar kulit-kulitnya, dan yang mana tinggal itulah yang kami campurkan dengan air, lalu kami mengulinya. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:153)
Tarmidzi memberitakan daiipada Abu Talhah ra. katanya: Sekali peristiwa kami datang mengadukan kelaparan kepada Rasulullah SAW lalu kami mengangkat kain kami, di mana padanya terikat batu demi batu pada perut kami. Maka Rasulullah SAW pun mengangkat kainnya, lalu kami lihat pada perutnya terikat dua batu demi dua batu. (At-Targhib Wat-Tarhib 5:156)
Ibnu Abid Dunia memberitakan dari Ibnu Bujair ra. dan dia ini dari para sahabat Nabi SAW Ibnu Bujair berkata: Pernah Nabi SAW merasa terlalu lapar pada suatu hari, lalu beliau mengambil batu dan diikatkannya pada perutnya. Kemudian beliau bersabda: Betapa banyak orang yang memilih makanan yang halus-halus di dunia ini kelak dia akan menjadi lapar dan telanjang di hari kiamat! Dan betapa banyak lagi orang yang memuliakan dirinya di sini, kelak dia akan dihinakan di akhirat. Dan betapa banyak orang yang menghinakan dirinya di sini, kelak dia akan dimuliakan di akhirat.’
Bukhari dan Ibnu Abid Dunia meriwayatkan dari Aisyah ra. dia berkata: Bala yang pertama-tama sekali berlaku kepada ummat ini sesudah kepergian Nabi SAW ialah kekenyangan perut! Sebab apabila sesuatu kaum kenyang perutnya, gemuk badannya, lalu akan lemahlah hatinya dan akan merajalelalah syahwatnya!
(At-Targhib Wat-Tarhib 3:420).
Qana’ah (rela dan menerima pemberian Allah Subhanallah Wata’ala apa adanya) adalah suatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi orang yang diberikan taufiq dan petunjuk serta dijaga oleh Allah Subhanallah Wata’ala dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta.
Namun, meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Berikut ini beberapa kiat menuju qana’ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah Subhanallah Wata’ala seseorang akan merealisasikannya :
1. Memperkuat keimanan kepada Allah Subhanallah Wata’ala
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah Subhanallah Wata’ala karena hakikat kaya itu ada di dalam hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun fia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memiliki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.
2. Yakin bahwa rizki telah tertulis
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu anhu, disebutkan sabda Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam diantaranya, “Kemudian Allah Subhanallah Wata’ala mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Seorang hamba hanya diperintahkan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah Subhanallah Wata’ala yang memberikan rizkinya dan bahwa rizkinya telah tertulis.
3. Memikirkan ayat-ayat Al-Quran yang Agung
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah yang apabila Aku membacanya di sore hari maka aku tidak akan peduli atas apa yang akan terjadi padaku sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari, maka aku tidak akan peduli dengan apa Aku akan berpagi-pagi, yaitu surah Fathir : 2 , Yunus : 107 , Huud : 6 , Ath-Thalaq : 7.
4. Ketahui hikmah perbedaan rizki
Diantara hikmah Allah menentukan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar-menukar manfaat, tumbuh aktifitas perkonomian, serta agar antara satu dengan yang lain saling memberikan pelayanan dan jasa.
5. Banyak memehon qana’ah kepada Allah
Rasulullah adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah diberikan rasa qana’ah, beliau berdoa, “Ya Allah berikan Aku sifat qana’ah terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR. Al-Hakim)
Dan karena saking qana’ahnya beliau tidak meminta kepada Allah melainkan sekedar cukup untuk kehidupan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, “Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja.” (HR. Bukhari Muslim dan At-Tirmidzi)
6. Menyadari bahwa rizki tidak diukur dengan kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktifitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab datangnya rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
7. Melihat ke bawah dalam hal dunia
Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya.
8. Membaca kehidupan para shahabat dan orang-orang terdahulu
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperoleh harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.
9. Menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemiliknya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab 2 kali, yakni dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia membelanjakannya. Hal ini menunjukan beratnya orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibandingkan orang yang lebih sedikit hartanya.
10. Melihat realita bahwa orang fakir dan orang kaya tidak jauh berbeda
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan oleh orang fakir. Tidak mungkin si kaya makan lebih dari 50 piring bukan…meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan si kaya memiliki seratus potong baju maka si kaya hanya memakai sepotong saja bukan…sama yang dipakai oleh orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak ia manfaatkan maka itu relative (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda Radiyallahu anhu “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian dan kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kamipun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedankan kita terbebas darinya.
semoga bermanfaat..artikel saya dapat dari buletin jum’ah An-Nur.
Secara maknawi, qonaah berarti menerima apa adanya. Merasa ikhlas dengan kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya : “nrimo ing pandum”
Dalam sudut pandang tertentu, qonaah sering disalah artikan sehingga menjadi pemicu sebuah kemunduran, ganjalan dalam berkembangnya seseorang ke tingkatan yang lebih tinggi/baik dalam berbagai aspek kehidupan.
Memang tak salah kalau qonaah diartikan menerima apa adanya, tapi tidak berhenti hanya sampai disitu. Sikapa qonaah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara WAJAR dan tak melampaui batas. Selanjutnya diperlukan adanya syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya, tasyakkur tercermin dari kelapangan hati dan kesabaran, tafakkur sebagai wujud evaluasi.
contoh kecil orang yang sedang usaha berjualan. suatu saat jualannya sepi. ketika ia menghadapi itu, pertama ia ikhlas, kemudian bersyukur, “Alhamdulillah…. dengan kesempitan ini Ya Allah kau ingatkan aku, kau jadikan aku mendekat kepadaMu”. Orang ini akan semakin memacu ibadahnya, sehingga semakin dekatlah ia kepada Allah, dengan ijin Allah tentunya. dengan semakin dekat kepada Allah maka semakin lapang hatinya menjalani kesempitan ini, yang ada adalah kelurusan berfikir. Langkah selanjutnya adalah tafakkur, evaluasi. Kenapa sih orang2 seakan menjauh dari tokoku, apakah karena tokoku kotor sehingga tak menarik keinginan pembeli, apakah harga jualku terlalu mahal, apakah pelayananku yg tidak disukai pembeli… evaluasi demi evaluasi dilakukan sehingga dari situ lahirlah perbaikan-perbaikan. 2 manfaat sekaligus, ibadah semakin lancar, urusan dunia semakin lancar.
Nabi bersabda : Bukanlah orang yang kaya itu adalah orang banyak hartanya, akan tetapi yang disebut orang kaya adalah orang yang kaya hati HR. Bukhori.
Ungkapan Nabi di atas merupakan landasan dari sifat Qonaah. Qanaah merupakan satu dari sifat-sifat terpuji yang harus dimilki oleh setiap Muslim. Lalu apa dan bagaimana Qanaah itu..?
As Syaikh Ahmad Ar Rifa’i dalam kitabnya yang berjudul Riayatal Himmah Juz akhir berkata, qonaah menurut bahasa artinya tenang, sedangkan makna terminologi syar’i yaitu tenang hatinya mengharap ridho Allah semata serta mengambil dunia seperlunya sesuai dengan kebutuhan, sekira dapat digunakan untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Lebih lanjut As Syaikh menegaskan, Al Qoni’u Ghoniyyun walau kana juu’a ( Orang yang qonaah itu kaya walaupun ia kelaparan ). Orang yang memiliki jiwa qonaah akan selalu menampakkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Allah kepadanya tanpa sedikitpun mengharap apa yang bukan menjadi bagiannya. Sehingga rasa bahagia akan menyelinap kedalam hatinya dan terpancar dari mukanya yang penuh kegembiraan.
Dia tidak akan pernah mengeluh apalagi memprotes kebijakan Allah Swt atas dirinya, sebab ia merasa bahwa anugerah Iman, Islam dan Ibadah yang diberikan kepadanya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tetap tersenyum di dunia dan akherat kelak.
Pandangan hatinya selalu tertuju pada bagaimana ia dapat menjalankan perintah Allah secara totalitas sebagaimana yang di ajarkan oleh Rasulullah sembari hatinya senantiasa bergantung pada Fadhol dari Alloh Swt. Menurutnya harta berupa ilmu dan ibadah lebih berarti dibanding harta yang bersifat kebendaan. Sebab adakalanya harta yang bersifat kebendaan justru akan menyeret sang empunya terjerembab dalam lubang kehinaan yang abadi yaitu neraka.
Intinya, qonaah adalah merasa tenang dan terima terhadap apa yang diberikan oleh Alloh kepadanya, tidak loba dunia, tamak, rakus ataupun menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya semata. Islam tidak melarang umatnya mencari kehidupan dunia, akan tetapi dunia haruslah dijadikan sebagai sarana dalam menggapai kebahagiaan Akherat, itu yang di kemukakan oleh Allah dalam firmannya, Dan Raihlah olehmu apa yang telah disediakan oleh Allah yaitu negara Akherat dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari kehidupan dunia.” QS Al Qoshshosh ayat 77. Bukan malah menjadikan akherat sebagai kendaraan untuk mencari dunia. Carilah dunia, tapi gunakanlah dunia itu untuk berbakti kepada Alloh Swt.
Terakhir ada perkataan Imam Ghozali yang sangat terkenal;” Ad Dunya Dzillun Zail.” ( Dunia adalah bayang-bayang yang akan menghilang ) untuk apa mengejar bayangan kalau kebahagiaan yang hakiki ada didepan mata. Selalu hidup qonaah maka kebahagiaan akan menyambangi setiap detik dalam kehidupan kita.
Wallahu A’lam
Seorang wanita curhat kepadaku. Ia merasakan hidupnya selalu ditimpa kemalangan. Sejak dalam kandungan ortu tidak menginginkan kehadirannya. Maklum, ia adalah hasil hubungan di luar nikah. Berbagai bahan penggugur kandungan pernah diminum ibunya. Tapi rupanya Sang Pencipta berkehendak lain. Ia tetap lahir ke dunia dalam keadaan normal.



Hanya sayang, efek bahan-bahan yang pernah diminum sang ibu belakangan berdampak pada pertumbuhannya. Ia menjadi rentan sakit dan cenderung sensitif secara batin. Saat bersamaan, berbagai cobaan hidup dialaminya, mulai dari perekonomian yang sulit sampai hubungan sosial yang tidak menyenangkan dengan orang-orang sekitar. Tekanan-tekanan yang dialami membuatnya apatis terhadap kehidupan. Apalagi jika membandingkan kondisi dirinya dengan sanak saudara lain yang jauh lebih beruntung.



Mendengar caranya bertutur kupikir ia telah banyak menerima nasihat. Dalam kondisi yang memprihatinkan, ia selalu mencoba tegar dan mendekatkan diri kepada 4WI. Aku sempat tidak tau apa yang perlu kunasehatkan lagi kepada wanita ini. Mungkin dia akan muak, diberi nasihat oleh orang yang belum pernah mengalami sendiri penderitaan sepertinya. Aku cuma bisa menyampaikan cerita penghibur saat aku merasa tidak beruntung.



Tentang seorang sahabat Rosulullah yang telah mendapat kabar akan masuk surga selagi masih hidupnya. Saat mendengar berita, para sahabat yang lain langsung menyelidiki amalan apa yang pernah dilakukan olehnya. Ternyata amalan sahabat tadi biasa-biasa saja, tidak istimewa. Begitu pula ketika ditanya, ia tidak memiliki amalan-amalah khusus. Ia hanya bercerita bahwa ia tidak pernah merasa iri hati dengan apa yang dimiliki oleh orang lain.



Qona'ah adalah amalan hati, sederhana diungkapkan tapi belum tentu mudah prakteknya. Terlalu banyak godaan yang membuat kita merasa "rumput tetangga selalu lebih hijau". Sepele sebenarnya, tapi siapa saja bisa mengalaminya, termasuk para sahabat Rosulullah. Parahnya, hal sepele ini bisa membuat orang merasa apatis terhadap kehidupan, bahkan akhirnya benar-benar gagal.



Benar bahwa setiap kita mungkin pernah mengalami kemalangan. Tapi sangat 'useless' meratapi keberuntungan orang lain. Sudahlah sedih, beruntungnya belum tentu dapat. Lebih bahayanya ketika sampai terhinggapi perasaan senang ketika kemalangan akhirnya menimpa orang lain. Inilah dengki yang keburukannya memakan kebaikan seperti api menghabiskan sekam.



Benarlah perkataan bahwa qona'ah adalah sebaik-baik simpanan. Tenangnya hati ketika merasa cukup dengan pemberian Allah adalah kekayaan yang tidak ada habisnya. Berbahagialah orang-orang yang bisa qona'ah karena surga baginya. Semoga kita termasuk diantaranya :).
Dibawah ini beberapa faktor yang mendukung kita untuk memperoleh akhlak yang sangat berharga ini:
1. Ilmu agama
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya? (Al-An’am:32)
2. Keimanan yang mantap
Ilmu yang kita miliki (insya Allah) berbuah menjadi keimanan yang mantap. Kuat lemahnya sifat qona’ah dalam menghadapi berbagai “fitnah” dunia ini, sesuai dengan tingkat kekuatan iman yang ada pada setiap kita. Keimanan yang mantap salah satunya dapat dibangun melalui keseriusan belajar agama (menuntut ilmu syar’i) disertai doa.
3. Pemahaman yang benar tentang qodho dan qodar
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia yang paling kaya.” (HR.Ahmad)
4. Perjuangan Mental dan Bersabar
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu, mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang diharamkan bagi mereka.” (HR.Muslim)
5. Berdoa dan Memohon kepada Allah
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan kekayaan.” (HR.Muslim)
6. Menjauhi Orang-Orang yang Suka Berkeluh Kesah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Seseorang mengikuti agama kawan dekatnya, maka hendaklah setiap orang dari kalian memperhatikan siapa yang menjadi kawan dekatnya.”
7. Melihat yang “di bawah”
“Andaikata anak Adam memiliki dua lembah emas, pasti ia ingin memiliki dua lembah, dan mulutnya tidak kunjung bisa dipenuhi, kecuali dengan tanah. Dan Allah menerima taubat siapa yang bertaubat.” (HR.Bukhari-Muslim)
egala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setelah sebelumnya kami kemukakan tentang keunggulan doa yang ringkas, namun syarat makna. Begitu pula kami telah kemukakan mengenai keutamaan doa sapu jagad yang paling sering Nabi shallallahu alaihi wa sallam panjatkan (yaitu doa: Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina adzaban naar), selanjutnya kita lihat beberapa doa lainnya yang diangkat oleh Imam An Nawawi (Yahya bin Syarf An Nawawi) dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin. Kami pun akan mengutarakan faedah doa tersebut. Semoga bermanfaat.
Doa Meminta Ketakwaan dan Sifat Qonaah
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
"Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal afaf wal ghina." Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat afaf dan ghina.
Dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa: "Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal afaf wal ghina"." (HR. Muslim no. 2721)
Faedah hadits:
Pertama: Yang dimaksud dengan "al huda" adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. Yang dimaksud "al afaf" adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud "al ghina" adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain.
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, " Afaf dan iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia." (Syarh Muslim, 17/41)
Kedua: Keutamaan meminta petunjuk ilmu sekaligus amal karena yang dimaksud al huda adalah petunjuk dalam ilmu dan amal.
Ketiga: Keutamaan meminta ketakwaan. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Takwa diambil dari kata "wiqoyah" yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Keempat: Keutamaan meminta sifat afaf atau iffah yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti doa ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji.
Kelima: Keutamaan meminta pada Allah sifat al ghina yaitu dicukupkan oleh Allah dari apa yang ada di sisi manusia dengan selalu qonaah, selalu merasa cukup ketika Allah memberinya harta sedikit atau pun banyak. Karena ingatlah bahwa kekayaan hakiki adalah hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Keenam: Dianjurkannya merutinkan membaca doa ini.
Semoga bermanfaat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.”[1].
Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rezeki yang Allah Ta’ala berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah, termasuk dalam hal pembagian rezeki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya, serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rezeki dalam hadits ini adalah rezeki yang diperoleh dengan usaha yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau, “…yang secukupnya” adalah yang sekadar memenuhi kebutuhan, serta tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar riekei yang diminta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau, “Ya Allah, jadikanlah rezeki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam) Quutan.”[9]. Artinya: yang sekadar bisa memenuhi kebutuhan hidup/ seadanya[10].
- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu, maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan).”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Anda tentu sering mendengar bahasan tentang dimensi kecerdasan manusia, mulai dari kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan akhirnya kecerdasan spiritual. Para ahli psikologi banyak membahas tentang ketiga dimensi kecerdasan ini.
Awalnya, dunia benar-benar mengarahkan perhatian pada pendidikan intelektual. Semakin tinggi intelektual seseorang dianggaplah dia sebagai sosok yang pandai dan cerdas. Kecerdasan intelektual dimanifestasikan pada titel pendidikan akademis atau gelar seseorang, apakah itu gelar sarjana, doktor atau proffesor. Semakin tinggi  gelar yang dicapai seseorang, makin dianggap tinggi kecerdasaan intelektualnya.
Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan hapalan, berhitung, logika, membaca ruang. Kemampuan ini dahulu benar-benar di dewa-dewakan. Istilah yang  digunakan untuk orang yang cerdas secara intelektual ini adalah jenius. Kaitan yang paling erat dengan kecerdasan ini adalah apa yang disebut hard skill atau kemampuan khusus di bidang tertentu. Misal seorang dengan gelar dokter adalah orang yang pandai mengobati orang, seorang arsitek adalah orang yang pandai  merancang design bangunan yang megah, dan sebagainya. Karenanya banyak para ahli menyatakan bahwa kecerdasan ini merupakan sebuah dimensi kebahagian materi karena kecerdasannya terkait langsung dengan keahliannya sendiri dalam menghasilkan sesuatu.
Kecerdasan intelektual ini mulai dipertanyakan ketika seseorang dihadapkan dengan permasalahan interaksi dengan orang banyak. Seseorang yang memiliki titel intelektual yang tinggi belum tentu bisa dikatakan “cerdas” dalam berinteraksi dengan banyak orang. Kecerdasan ini disebut kecerdasan emosi. Kecerdasan ini benar benar diuji jika seseorang berada pada suatu organisasi yang berjalan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, sering kali kecerdasan ini diuji saat seseorang lolos ujian intelektual dalam seleksi lowongan kerja yang disebut tes kepribadian.
Dalam kajian psikologi, terdapat 3 spektrum posisi manusia dalam berinteraksi dengan manusia, yakni agresif, asertif dan pasif/pesimis. Orang yang bersifat agresif sudah barang tentu sifatnya dominan terhadap orang lain. Orientasinya adalah “aku”. Semua harus “By my way”. Tentu saja orang seperti ini akan tidak disukai dan ditakuti jika mempunyai kekuasaan. Sementara orang yang bersifat pasif/pesimis justru lebih parah. Dia sama sekali tidak bergairah atau terkungkung oleh bayangan ketakutan atau prasangka buruk untuk mencapai tujuan. Orang ini nasibnya akan terinjak-injak dan disingkirkan dalam pergaulan. Nah, sifat yang merupakan manifestasi kecerdasan emosi adalah sifat yang asertif. Karena sifat ini merupakan pertengahan antara sifat agresif dan pasif, maka orang asertif digambarkan sebagai orang yang selalu optimis atau percaya diri tapi mampu bergaul dan menjaga kebersamaan dengan orang lain. Sifat inilah yang dicari dan maksud dari kecerdasan emosi yang baik.
Sementara jika seseorang mampu mendapatkan kedua kecerdasan itu, apakah cukup? Bagaimanakan jika orang yang pandai keilmuan, pandai memanage seseorang, tapi dia tidak cerdas secara spiritual. Kemanakah kesemuanya itu didedikasikan?. Jika dia tidak cerdas spiritual, bisa saja ia menggunakan segala kepandaiannya itu untuk kepentingan dirinya. Dia akan membawa suatu organisasi untuk memenuhi hawa nafsunya. Lalu misal jika mengalami kegagalan, dia akan berputus asa atau bahkan frustasi lalu bunuh diri. Dia merasa pandai segalanya, tapi ia lupa ada yang mengatur segalanya.
Lalu, apakah Agama Islam yang agung ini tidak mengatur masalah dimensi-dimensi kecerdasan ini? Sungguh Islam merupakan agama yang telah disempurnakan oleh Allah.  Dalam Islam kecerdasan atau sifat manusia yang diharapkan adalah Qona’ah. Sempat saya lontarkan ke dinding facebook saya menanyakan definisi dari qona’ah ini. Kebanyakan menjawab bahwa qona’ah adalah cenderung dengan keikhlasan, ada juga yang  mendefinisikan “tidak neko-neko” yang berarti tidak berbuat yang berlebihan. Definisi ini benar, tetapi kurang lengkap. Karena keikhlasan lebih tertuju pada kecerdasan spiritual. Saya menyebutkan bahwa sesungguhnya qona’ah adalah kecerdasan yang meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Sesungguhnya sangat jelas, bahwa perintah yang dibawa atau surat yang diturunkan pertama kali adalah suatu perintah untuk membaca. Surat itu adalah surat Al-Alaq (96) Perintah itu sangat jelas yakni merubah sesorang yang jahiliyah berperilaku tanpa didasari ilmu pengetahuan agar belajar. Pelajaran yang pertama  kali banyak dipelajari tentunya adalah basik intelektualitas yang terkait dengan logika, penalaran, sunnatullah dan apa yang dilihat. Tanpa melakukannya, manusia akan tetap bodoh dan besifat jahiliyah. Dan tanpa dipungkiri, sebenarnya apa yang dipelajari manusia dalam berbagai bidang adalah bersumber dari Al-Qur’an. Lihatlah, bahwa ilmu intelektualitas itu sudah dipelajari manusia saat dia masih kecil, mulai dari ajaran orang tuanya tentang apa yang dia tidak ketahui, ketika sekolah dasar dengan gurunya, sampai ia beranjak dewasa. Dengan belajar intelektualitas, seseorang mendapatkan pengetahuan/bekal untuk kehidupannya. Dengan kecerdasan intelektual inilah dia meraih keahlian yang disematkan dengan gelar akademis yang diperolehnya.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kedewasaan, maka manusia dihadapkan dengan interaksi. Dari sebuah interaksi ini manusia lahirlah sebuah tanggung jawab atau konsekuensi dari interaksi itu. Walaupun tanggung jawab itu baru dipikul oleh seseorang yang akhil baligh (dewasa), akan tetapi interaksi dengan sesama tentulah sudah dimulai sejak kecil. Di situ seharusnya manusia harus segera belajar cara berinteraksi. Jika ia sibuk terhadap dirinya walaupun itu adalah belajar (tentu saja mendalami kecerdasan intelektual), maka alokasi pembelajaran kecerdasan emosinya pun terbengkalai. Saat manusia sudah terjun untuk mengamalkan ilmu (intelektual)nya, alangkah kaget atau tidak siapnya ia berinteraksi dengan khalayak. Yang lebih parah lagi adalah jika ia tidak tahu bahwa sepak terjangnya dalam berinteraksi adalah salah.
Terkait dengan ini Islam mempunyai konsep yang sangat nyata dalam hal kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi ini telah diatur dalam konsep Hablumminannash (hubungan dengan manusia). Konsep inilah yang seharusnya dipelajari agar manusia menjadi pribadi yang berakhlak baik bagi manusia lain. Hatinya sangat lembut dan mampu menyelami perasaan orang lain. Sifat empati, ukhuwah, dan akhlaknya sangat baik. Kecerdasan hati yang islami adalah unsur kedua dari sifat Qona’ah pribadi Muslim
Kecerdasan Spriritual dalam Islam pun sudah diatur, yakni konsep Hablumminallah (Ibadah terkait dengan Allah). Kebanyakan Orang-orang mendefinisikan Qona’ah dengan konsep ini. Padahal jika manusia hanya mencermati spritualnya saja, yakni mengenai keikhlasan, syukur dan ibadah langsung terhadap Tuhannya tanpa di dasari dengan kecerdasan intelektual dan emosi, maka cermiannya dia hanya akan menjadi orang yang sufi yang diam di masjid, tapi  tidak bekerja karena tidak punya keahlian dan berinteraksi dengan manusia karena merasa interaksi itu akan merusak dirinya tanpa terkecuali.
Sekarang apakah yang dinamakan Qona’ah itu hanya sekedar ikhlas, menerima apa adanya, dan tidak “neko-neko” saja. Apakah jika dia melakukan sesuatu kegiatan tidak didasari ilmu? Apakah dia terus menjauhi khalayak seakan-akan dia paling suci? Dan apakah dia terus-menerus diam di masjid tanpa peduli dengan semua itu. Sungguh itu bukan yang diharapkan
Jadi, definisi Qona’ah yang benar adalah pribadi muslim yang tangguh dengan ilmu yang dimilikinya, baik akhlaknya terhadap sesama, serta dia mendedikasikan kesemuanya itu kepada Allah Swt yang tergambarkan dengan keikhlasan dan rasa syukurnya.
Semoga tulisan saya ini bermanfaat, dan tentunya saya tak lepas dari kesalahan. Kritik dan saran saya terima..
Qona’ah, artinya merasa cukup dengan apa yang ada. Sebuah kata yang mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dipraktikkan.

Terlebih di zaman ini, dimana kita melihat begitu banyak manusia mengalami “kegilaan” terhadap dunia beserta isinya.

Di zaman sekarang ini, sulit rasanya untuk mewujudkan kekayaan yang tiada habisnya ini hanya dengan nasihat singkat.

“Nak, bersikaplah qona’ah, maka kamu akan tenang hidupnya”. Ataupun nasihat-nasihat sejenis yang sering kita dengar.

Nasihat serta keterangan singkat yang disisipkan di dalam pengajian-pengajian belum lah mencukupi untuk menumbuhkan harta yang tiada habisnya ini.

Hadits-hadits tentang qona’ah yang dibaca (terkadang) tidak cukup membantu untuk serta merta memunculkan sifat itu pada diri kita, kecuali orang-orang yang diridhai Allah SWT.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Setelah sebelumnya kami kemukakan tentang keunggulan do’a yang ringkas, namun syarat makna. Begitu pula kami telah kemukakan mengenai keutamaan do’a sapu jagad yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan (yaitu do’a: Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar), selanjutnya kita lihat beberapa do’a lainnya yang diangkat oleh Imam An Nawawi (Yahya bin Syarf An Nawawi) dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin. Kami pun akan mengutarakan faedah do’a tersebut. Semoga bermanfaat.
Do’a Meminta Ketakwaan dan Sifat Qona’ah
اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina”.” (HR. Muslim no. 2721)
Faedah hadits:
Pertama: Yang dimaksud dengan “al huda” adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. Yang dimaksud “al ‘afaf” adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud “al ghina” adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain.
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “ ’Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)
Kedua: Keutamaan meminta petunjuk ilmu sekaligus amal karena yang dimaksud al huda adalah petunjuk dalam ilmu dan amal.
Ketiga: Keutamaan meminta ketakwaan. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Takwa diambil dari kata “wiqoyah” yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.
Keempat: Keutamaan meminta sifat ‘afaf atau ‘iffah yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti do’a ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji.
Kelima: Keutamaan meminta pada Allah sifat al ghina yaitu dicukupkan oleh Allah dari apa yang ada di sisi manusia dengan selalu qona’ah, selalu merasa cukup ketika Allah memberinya harta sedikit atau pun banyak. Karena ingatlah bahwa kekayaan hakiki adalah hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Keenam: Dianjurkannya merutinkan membaca do’a ini.
ebagai orang yang beragama, memahami rezeki yang hadir di tangan kita tidaklah semata-mata melalui upaya diri dan manajemen. Al Ghozali berkata, betapa banyak orang yang tidak memahami manajemen, beker­ja sedikit namun rezekinya melimpah, di sisi lain, orang yang “nyungsang-nyungseb” mencari rezeki siang dan malam, tetapi kadang rezeki itu terasa seret sekali. Apakah kemudian rezeki itu berada dalam manajemen kita? Ternyata tidak! Ia ada dalam manajemen Allah swt. Allahlah yang bertanggung jawab terhadap rezeki makhluqnya, sedangkan manusia hanya melulu ‘beribadah’ yang diaplikasikan ibadahanya baik ketika berikh­tiar, memohon, berharap dan berusaha sekuat tenaga lillaahi ta’aala dalam ikhtiarnya.  Sampai di sini, segala hasil merupakan tang­gung jawab Allah swt.  
Namun demikian sekelumit ilmu yang diajarkan Rasulullah saw ternyata sangat bermanfaat. Barangsiapa yang memahami misteri itu, niscaya bisa bersikap qonaah dan Tenang. Kemudian rezeki akan hadir tanpa diduga-duga, tanpa dipusingkan dan tanpa membawa resah dan gelisah. Sebuah riwayat hadits yang ditulis dalam buku Adabudunya Waddin (etika kehidupan dan beragama) Rasulullah saw bersabda: 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من عبد الا بينه وبين رزقه حجاب فان قنع واقتصَد اتاه رزقه وإن هتك الحجابُ لم يزدْ فى رزقه 
Rasulullah saw bersabda: “Antara  seorang hamba dan rezeki terdapat sebuah tabir (hijab); barangsiapa yang bersikap terhadap rezeki itu menerima de­ngan tulus ikhlas (qona’ah) dan bersikap tenang-tenang saja (iqtishad) maka rezeki itu akan datang dengan sendirinya; sedangkan siapa yang mencoba untuk merusak tabir rezeki itu maka jangan harap bertambah.”  
Hadits ini menerangkan tentang tabir (hijab) rezeki. Sehingga benarlah bahwa rezeki itu merupa­kan misteri sebab ia memiliki pembatas antara kita dengannya. Kita dilarang coba-coba merobek tirai tersebut. Adapun upaya memper­kokh tirai rezeki itu dengan dua cara: Qonaah dan Iqtishod.  
Pertama, dengan  qonaah Sebagaimana hadits di atas, menerima rezeki dengan qonaah sama artinya dengan menerima apa adanya rezeki yang hadir dengan penuh keikhlasan dan suka cita. Ketika mendapatkan rezeki besar atau sedikit disambut dengan sikap amat amat girang. Namun kegirangan ini hanya ditampakkan di sisi Allah swt tidak kepada manusia. Inilah yang disebut oleh Syekh Nawawi dengan qona’ah. Qona’ah sendiri sama dengan sikap kafafah. Kedua sifat ini merupakan  tindakan yang paling baik dalam menyikapi. Rasulullah saw bersabda:  
عن عبد الله بن عمرو بن العاص أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال قد أفلح من أسلم ورزق كفافا وقنعه الله بما آتاه- من صحيح مسلم 1746
Dari Abdulalh bin ‘Amr bin ‘ash bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Sungguh beruntung orang yang selamat. Ia diberi rizki dengan berkecukupan dan Allah merelakan apa yang diterimanya.  
Ketika mensyarakhi (memperjelas) hadits ini, Syekh Nawawi mengartikan kafafah atau qona’ah dengan ungkapan:  
الكفاف : الكفاية بلا زيادة ولا نقص . وفيه فضيلة هذه الأوصاف , وقد يحتج به لمذهب من يقول : الكفاف أفضل من الفقر ومن الغنى . 
Kaffaf adalah sikap merasa cukup dengan rezkinya tanpa menuntut lebih dan kurang. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian madzhab: Sikap merasa cukup ini lebih utama dari pada kondisi orang yang kaya atau miskin. 
Kedua dengan  iqtishodCara kedua menjaga agar tirai tetap kokoh adalah dengan sikap iqtishod. Maknanya adalah ia akan berada di pertengahan.  Murunut Al Hasan dalam tafsir al Qurthubi, Muqtasid adalah orang mukmin yang tetap kokoh memegang tauhid dan taat. Artinya, boleh jadi, dalam menyikapi rezeki tidak akan mengurangi nilai taat dan keimanannya. Dengan demikian ia akan tenang-tenang saja dalam menyikapi rezeki tersebut. Jika sempit atau lapang rezeki, ia te­nang-tenang saja tidak mengadukannya kepada manusia. Sebab bila coba-coba membe­ber­kan kesu­sahan­nya pada manusia itu berarti merobek dinding rezeki. Sebagaimana peringatan Rasulullah saw siapa yang membuka kesusahan kepada Allah artinya ia siap untuk tetap fakir. (dikutip dari hadits no. 2247 Sunan Turmudzi) 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: …. ولافتح عبد باب مسئلة إلا فتح الله عليه باب فقر أو كلمة نحوها.
Bersabda Rasulullah saw: ….. dan janganlah seorang hamba Allah membuka pintu masalah kepada orang lain (tentang kesusahannya) sebab niscaya Allah akan membuka pintu kemiskinan atau kalimat yang sejenisnya (kesusahan, kesulitan, kerupekan, kedholiman dll.). Menurut Abu Isa, hadits ini hasan shoheh.  
Dengan membuka masalah kepada orang lain, berarti ia berusaha merobek dan merusak tirai (hijab) rezeki tersebut). Karena itu sikap terbaik adalah mempertahankan sikap iqtishad. Untuk melatih sikap iqtishod ini ada baiknya mengikuti saran Rasulullah saw: 
قوله صلى الله عليه وسلم : ( انظروا إلى من هو أسفل منكم , ولا تنظروا إلى من هو فوقكم , فهو أجدر ألا تزدروا نعمة الله عليكم )  
“Lihatlah kepada orang yang lebih menderita dan jangan melihat orang yang lebih makmur dari mu. Sebab hal itu merupakan sifat yang terbaik agar jangan sampai memandang rendah ni’mat Allah swt.”
Menurut Ibnu Jarir dalam Syarkh An Nawawi, hadits tersebut adalah kesimpulan yang terbaik. Sebab tabiat manusia dalam urusan dunia, apa­bi­la melihat orang yang lebih makmur darinya, ia akan berusaha menyamainya. Kemu­dian meng­anggap rendah nikmat Allah swt. yang ada pada dirinya. Karenanya, ia akan berusaha lebih rakus lagi (tamak) untuk menyamai saingannya atau setidaknya tidak jauh-jauh amat bedanya. Menurut Syekh Nawawi, itulah tabiat manusia pada umumnya. 
Sebaliknya, kata Syekh Nawawi, dalam urusan dunia, jika melihat orang lain memperoleh kenikmatan, maka yang terlihat adalah karunia Allah yang besar. Ia lalu menysukurinya, kemu­dian tetap bertawadlu dan tetap berlaku baik. Kata An Nawawi, sikap inilah yang utama dalam menyikapi rezeki. 
Sebaik Umat
Adapun sebaik-baik Umat dalam menyikapi masalah rezeki adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Rasululah saw. Menjadi orang yang menerima (rela) jika tidak diberi dan menjadi orang yang meminta jika tak berpunya. Dikutip dari buku “adabuddunya waddin” Rasululullah saw bersabda:  
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خير امتي الذين لم يعطوا حتى يبطروا ولم يقتروا حتى يسئلوا.
“Sebaik-baik umatku adalah orang yang tidak diberi lalu dia menerima dan tidak berpunya kemudian ia meminta.”
Mengambil Deposito Amal
Yang dimaksud sikap menerima dan meminta dalam hadits tersebut adalah ditujukan kepada Allah swt semata. Sikap meminta kepada Allah jelas merupakan perintah langsung dari Allah swt: Ud’uunii astajib lakum “Memohonlah kepada-Ku niscaya Aku beri” (Al Mukmin 60).  Namun yang menjadi catatan di sini adalah bahwa orang tidak akan salah alamat ketika meminta kepada Allah manakala ia banyak menabung amal-amal perbuatanya pada rekening Allah Subhanahu Wata’ala. Namun jika menabung amal-amalnya bukan kepada Allah mengapa meminta kepada-Nya inikan aneh bin ajaib. Logikanya, hal ini sama bila depositonya di Bank BCA, tetapi ketika mengambil, memintanya pada Bank BNI tentu ini salah alamat.
  
Hal ini sama artinya, jika segala amal-amalnya baik ucapan, pikiran dan tindakan. Pokoknya segala ibadah mahdhoh (amal vertikal) maupun ghoiru mahdzhoh (amal horizontal) diniatkan semata-mata untuk Allah (lillaahi ta’alaa), niscaya ketika hendak meminta bagian (bunga deposito amal) itu kepada Allah yakin pasti tidak salah alamat. Namun jika bukan lillaahi ta’alaa, mengapa memintanya kepada Allah? Seolah-olah Allah menyuruh untuk mengambilnya kepada yang lain. Karenanya, berarti siap-siap ia tidak menerima bonus spesial dari Allah swt, baik ketika di dunia maupun di akherat. Na’udzu bilalhi min dzaalik. Wallau a’lam bimurodih.  

Jakarta, 20 Muharrom, 1428 [7 Februari 2007] 

Pada suatu hari ada dua orang pemancing sedang melakukan aktifitas pemancingan di suatu sungai. Pemancing pertama adalah seorang kakek yang sangat bijaksana sedangkan pemancing yang satunya lagi adalah seorang anak muda yang penuh gelora, khas anak muda banget gitu lho.
Setelah lama memancing, anak muda mulai menggerutu. Diantara ungkapan yang terlontar : menyalahkan alat pancingnyalah, sungai yang tidak ada ikanlah sampai hari yang sial bagi dirinya. Intinya dia tidak puas dengan proses mancingnya karena sudah lama tidak ada satu ikan pun yang nyangkut di mata kailnya. Berbeda dengan sang kakek yang dengan begitu tenangnya menikmati proses memancing karena sang kakek berhasil dengan mendapatkan ikan berkali-kali dan besar-besar.
Melihat anak muda yang menggerutu tadi, sang kakek mendekatinya dan berkata : “pada halaman pertama buku Resep Memancing tertulis kata SABAR, jadi kita tidak usah menyalahkan siapapun tapi berusahalah terus dengan penuh kesabaran”
Mendengar nasehat dari sang kakek, anak muda tadi mulai lagi memancing. Sekarang dia sudah mulai tenang dan tidak menggerutu lagi seperti tadi.
Atas nasehat sang kakek akhirnya anak muda tadi sudah mulai mendapatkan ikan satu persatu. Namun lama-kelamaan mulai lagi menggerutunya karena ikan yang didapatkan semuanya masih kecil-kecil. Sedangkan yang didapat sang kakek ikannya besar-besar.
Mendengar gerutuan anak muda, sang kakek mendekat lagi dan berkata : “dalam buku Resep Memancing pada halaman kedua tertulis QANA'AH. Jadi kita harus menerima apa saja yang diberikan Allah kepada kita saat ini dengan penuh keikhlasan”.
Atas nasehat sang kakek, anak muda tadi kembali tenang dan mencoba untuk bisa menerima pemberian Allah saat itu. Akhirnya anak muda tadi mulai sedikit demi sedikit mendapatkan ikan besar sebagaimana yang diharapkan.
Selesai memancing, kedua orang ini mulai mengemasi perbekalan dan hasil tangkapan hari itu. Sebelum pamit, sang kakek menghampiri anak muda dan berkata : ”Wahai anak muda, dalam halaman terakhir buku Resep Memancing tertulis SYUKUR, maksudnya kita harus bisa mensyukuri apa yang kita terima dan jangan SERAKAH”. Makanya ambil ikan yang besar-besar untukmu dan kembalikan ikan yang kecil-kecil supaya kamu nanti dapat memancingnya lagi suatu saat.
Saudara sekalian, sebagai seorang manusia apalagi pebisnis kita harus mampu menempatkan SABAR-QANA’AH-SYUKUR ini secara silih berganti dalam siklus kehidupan kita. Dan bulan Ramadhan adalah sebaik-baiknya waktu untuk memupuk ketiga sikap tadi di dalam diri kita. Disamping sebagai bulan yang penuh dengan pahala, Ramadhan juga mendatangkan keberkahan sendiri bagai pebisnis dengan melimpahnya permintaan (dari mulai garmen, makanan, furniture, perabotan rumah tangga, dll). Jadi, siapkah kita ?

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Kekayaan (yang haqiqi) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang haqiqi) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan adalah kekayaan hati”. Hati atau jiwa yang kaya adalah hati atau jiwa yang selalu merasa puas dengan apa yang Allah berikan.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Merasa puas (qona’ah) adalah kunci kebahagiaan. Merasa puas (satisfied) juga merupakan hal yang dianjurkan oleh para motivator modern. Dari merasa puas inilah timbul rasa kesyukuran. Merasa puas membuat seseorang tidak serakah dan menimbulkan rasa ingin berbagi. Ia tidak menggenggam semua yang telah dia dapat. Karena semua yang telah dia dapat, ketika sebagian kecilnya telah ia ni’mati, dia pun merasa puas, jiwanya telah merasa kenyang. Sehingga sebagian besarnya akan sangat mudah dia berikan kepada mereka yang membutuhkan.
Sebaliknya, jiwa yang serakah, jiwa yang selalu lapar, jiwa yang selalu merasa kurang, walau ia telah mendapatkan satu gunung emas, ia akan terus merasa kurang. Dan ia akan mencari gunung emas kedua untuk digenggamnya sendiri. Merasa kurang membuatnya bakhil. Kondisi jiwa yang selalu merasa kurang menyebabkan jiwanya menjadi tidak tenang.
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Jiwa yang tenang dan merasa puas akan merasakan kebahagiaan, seakan surga telah direngkuhnya. Kebutuhan seorang yang berjiwa qona’ah hanyalah kebutuhan primer yang dibutuhkannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Kelebihan harta yang dimilikinya seakan tidak berarti baginya. Dia tak berambisi untuk menumpuk harta bagi kesenangan nafsunya.
Rasulullah sering menerima hadiah. Tapi semua hadiah itu habis dibagikan untuk kaum Muslimin yang membutuhkan. Pernah beliau mendapat sebakul emas. Maka habislah hadiah itu dibagi-bagikan. Pernah beliau mendapat sebakul kurma. Maka habislah kurma itu diberikan kepada faqir miskin. Nafsu beliau SAW adalah nafsul muthma-innah, nafsu yang tenang. Kondisi seperti inilah yang akan mengantarkan seseorang kepada surga dunia dan surga akhirat. Itulah sebabnya, kondisi seperti ini lebih berarti dari memiliki dunia seisinya.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa di antara kalian yang merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan pada badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia telah memiliki dunia seluruhnya.” [Hadits hasan, riwayat Imam At Tirmidzi (no 2346), Ibnu Majah (no 4141) dan Al Bukhari dalam Adabul Mufrad (no 300)]
Memiliki dunia seisinya dengan kondisi jiwa yang selalu merasa lapar hanya menyebabkan seseorang tidak pernah tenang. Dia disesatkan oleh nafsunya sendiri hingga menjadi tidak bahagia di dunia. Dan ketika di akhirat, karena dia berjiwa bakhil, tidak bersyukur, dan melanggar perintah Allah dalam hal harta, dia pun tidak mendapatkan kebahagiaan akhirat.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. [QS. Al-Lail: 5-10]
Merasa cukup dalam ayat di atas diterjemahkan dari “istaghnaa”, merasa kaya, merasa tidak membutuhkan Allah. Itulah bedanya merasa cukup (istaghnaa) dengan merasa puas. Istaghnaa sangat dibenci oleh para motivator modern, dan Al-Qur`an telah mengungkapkan buruknya istaghnaa ini sejak 1400 tahun lalu. Sedangkan qona’ah atau merasa ridho/puas dengan apa yang Allah berikan sangat disukai motivator modern, dan Nabi telah mengajarkan hal ini 14 abad yang lalu.
Diantara tokoh-tokoh yang istaghnaa yang diceritakan Al-Qur`an adalah Fir’aun, Qorun, dan Namrudz. Lihatlah bagaimana mereka menyombongkan diri mereka. Mereka merasa kaya, merasa cukup, merasa tidak membutuhkan Allah. Padahal kita ini adalah al-faqir ilallah, orang-orang yang butuh kepada Allah. Kepada Allah bergantung segala makhluq. Siapa yang telah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang kita makan? Siapa yang memberikan kita udara untuk kita hirup? Sebutkan trilyunan ni’mat yang kita rasakan. Maka semua keni’matan itu berasal dari Allah SWT.
Semoga allah menenangkan nafsu kita, membuatnya mudah merasa puas, qona’ah dan penuh kesyukuran kepada Allah SWT. Semoga dijadikan-Nya kita termasuk hamba-hamba-Nya yang sejati dan merengkuh surga dunia dan surga akhirat. Aamiin.
kecenderungan kepada Allah secara paripurna, mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, jiwa dan hartanya, sepakat kepada-Nya lahir dan batin, dengan menyadari kekurangan diri sendiri (Syaikh alMuhasibiy). Rabi’ah berkata: “Orang yang mahabbah kepada Allah itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil ke sisiNya.
Syauq: yaitu kerinduan hati untuk selalu terhubung dengan Allah dan senang bertemu dan berdekatan denganNya ( Abu Abdullah bin Khafif ). Sebagian Ulama’ berkata: ” Orang-orang yang Syauq merasakan manisnya kematian setelah dialami, sebab terbuka tabir yang memisahkan antara dirinya dengan Allah.
Unsu : tertariknya jiwa kepada yang dicintai ( Allah ) untuk selalu berada di dekatNya. ( Abu Sa’id al Karraz). Syeh Malik bin Dinar mengatakan, “Barangsiapa tidak unsu dengan muhadatsah kepada Allah, maka sedikitlah ilmunya, buta hatinya dan sia-sia umurnya.
Qurbun : dekat hatinya seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga dalam melakukan segala hal merasa selalu dilihat olehNya. Syeh Abu Muhammad Sahl mengatakan, “Tingkat paling rendah dalam tingkatan Qurb adalah rasa malu melakukan maksiat”
Haya’: Rasa malu dan rendah diri, demi mengagungkan Allah (Syaikh Syihabuddin), Syaikh dzun Nun alMisri mengatakan, “Mahabbah membikin orang berucap, Haya’ membikin diam, dan Khauf membikin gentar”.
{Walijo dot Com} Sakar: Gejolak mabuknya hati sewaktu disebut Allah (Syaikh Abu Abdullah)
Wushul: terbukanya tabir hati dan menyaksikannya pada hal-hal yang diluar alam ini (alam dhohir) (Syaikh Abu Husein anNuriy)
Qona’ah: menerima cukup dengan yang ada tanpa keinginan berusaha memperoleh yang belum ada (Syaikh Abu Abdullah).
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”[1].

Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].


Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rizki yang Allah Ta’ala berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah, termasuk dalam hal pembagian rizki. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai rasulnya”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rizki dalam hadits ini adalah rizki yang diperoleh dengan usaha yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau: “…yang secukupnya” adalah yang sekedar memenuhi kebutuhan, serta tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar rizki yang diminta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau: “Ya Allah, jadikanlah rizki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallamQuutan[9]. Artinya: yang sekedar bisa memenuhi kebutuhan hidup/seadanya[10].
- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan)”[12]
Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.
Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzarradhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits inishahih sesuai syarat Muslim)
Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalughoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selaluqona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernahqona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).”[1]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.”[2]
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.[3]
Saudaraku … milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Panggang-GK, 1 Jumadits Tsani 1431 H (14/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar