Selasa, 09 Agustus 2011

KIAMAT

H. Saiful Bahri, MA**. Mukaddimah: Jawaban Atas Berbagai Keraguan
Dalam surat sebelumnya (al-Mursalât) Allah mengulang-ulang ayat ”wailun yaumaidzin lilmukadzdzibîn” yang artinya ”kecelakaan yang besar pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali; maka dalam surat ini Allah lebih banyak menjelaskan tentang hari kebangkitan dan kemudian pembalasan bagi para manusia sesuai amal dan perbuatannya. Hari yang didustakan oleh banyak orang sejak para rasul sebelum Nabi Muhammad menyampaikannya pada kaum mereka.
Dengan hal inilah Allah menyampaikan pesan dalam surat An-Naba’ (Berita Besar) di awal juz 30. Juz terakhir dari al-Qur’an yang didalamnya terdapat 37 surat. Sebagian besar surat tersebut diturunkan Allah di masa kenabian pertama yang dikenal dengan periode Makkah. Hanya dua saja –yang disepakati oleh para ulama- merupakan surat madaniyah, yaitu surat al-Zalzalah dan surat An-Nashr yang turun pada periode Madinah.
Surat an-Naba’ diturunkan setelah surat al-Ma’arij([1]). Surat ini memuat sebuah berita besar yang dipertanyakan dan didustakan oleh orang-orang kafir([2]). Yaitu berita tentang hari kiamat yang selalu membuat manusia penasaran dan mencari tahu kapan datangnya([3]).
Hari Kiamat: Misteri Yang Takkan Pernah Terkuak Waktunya
Siapapun orangnya takkan pernah mengetahui kapan tiba masanya hari kiamat; bahkan Nabi Muhammad saw sekalipun. Karena itu bila ada yang mengaku-aku mengetahui kapan datangnya hari kiamat, sudah bisa dipastikan bahwa orang tersebut adalah seorang pendusta, hanya pembual yang bermulut besar.
”Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui”. (QS. 78: 1-5)
Imam al-Alusy menyebutkan bahwa kata ganti ketiga yang berbentuk plural di sini tanpa didahului penyebutan mereka sebelumnya bisa jadi dimaksudkan untuk menghinakan mereka yang mendustakan hari kiamat. Yaitu orang-orang kuffar quraisy. Sehingga mereka perlu dihadirkan dalam kesempatan ini. Atau bisa jadi justru merekalah yang meneror kaum muslimin dengan pertanyaan yang bernada penghinaan. Pada hakikatnya mereka bukanlah bertanya, karena sikap mereka sudah sangat jelas. Mendustakan adanya hari kiamat([4]). Apapun maksud mereka Allah sudah menegaskan bahwa penentuan hari kebangkitan sudah dilakukan Allah dan tak seorang makhluk-Nya pun yang mengetahui rahasia tersebut. Tidak juga orang terdekat-Nya, baginda Rasulullah saw atau malaikat Jibril as.
Dengan ini Allah sekaligus mengancam para pendusta tersebut bahwa kelak yang mereka olok-olokkan akan menjadi kenyataan. Cepat atau lambat mereka akan segera mengetahui dan menyesal saat itu. Dan penyesalan seperti ini tidaklah berguna, karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan yang sebelumnya terbuka luas ketika di dunia.
Tanda-tanda Kekuasaan Allah
Sejenak Allah memalingkan pembicaraan tentang hari kebangkitan. Para pendusta itu –khususnya- dan para manusia secara umum melalui Rasulullah dan orang-orang mukmin, diajak berpikir, melihat berbagai fenomena alam yang diciptakan Allah. Dengan pikiran jernih, dapat menghantarkan manusia untuk sampai pada keyakinan kebenaran hari kiamat.
“Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan, Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat, Dan kami jadikan malam sebagai pakaian, Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, Dan kami bina di atas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh, Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, Supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, Dan kebun-kebun yang lebat?” (QS. 78; 6-16)
Ayat-ayat di atas –sebagaimana tutur Imam Qatadah- merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah yang sekaligus sebagai pembuka pembicaraan yang lebih serius tentang hari kebangkitan([5]).
Bumi yang terhampar luas ini pada hakikatnya tidaklah seberapa jika dibanding dengan luasnya alam semesta ciptaan Allah. Gunung-gunung yang dipasang sebagai pasaknya kelak akan dicabut bagaikan bulu-bulu ringan. Allah jualah yang menciptakan apapun serba berpasangan. Menjadikan sebuah perbedaan yang bahkan sangat mencolok, menjadi sebuah keserasian. Ia juga yang sanggup menentukan hari kehancuran bagi apa saja.
Menariknya Allah menyebut tidur sebagai sebuah nikmat istirahat bagi manusia. Sekaligus sebagai tanda hari kebangkitan. Bahwa tidurnya manusia di malam hari bagaikan sebuah kematian. Dan ketika ia terbangun di pagi hari Allah telah membangkitkannya dari sebuah kematian. Maka kelak hari kebangkitan yang sesungguhnya setelah mati juga demikian. Hanya saja tiada yang tahu kapan terjadinya.
”Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan”. (QS. 6: 60)
Dalam surat al-An’am ini, Allah menggunakan kata ”yatawaffâkum” (mematikan kalian), yaitu menidurkan di malam hari. Ibnu al-Anbary mengatakan, “tidur disetarakan seperti kematian karena semua kegiatan manusia terputus” ([6]). Allah juga menjadikan malam seperti halnya pakaian yang menutupi. Karena pada malam hari manusia beristirahat, dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk privasi diri dan tak ingin diketahui oleh orang lain. Sedangkan siang Allah jadikan sebagai waktu bagi manusia untuk beraktivitas. Keduanya berpasangan dan diganti Allah secara bergiliran untuk kepentingan manusia. Siapakah yang menggilir kedua waktu tersebut secara bergantian? Bagaimana seandainya sepanjang waktu menjadi malam yang gelap? Atau menjadi terang selamanya, menjadi siang tanpa malam. Itulah hikmah penciptaan pergantian waktu. Dzat yang mampu melakukannya tentu juga mampu membangkitkan manusia setelah kematiannya.
Dialah sang pencipta tujuh lapis langit tanpa tiang yang berada di atas bumi secara kokoh. Pernahkah manusia membayangkan satu saja dari tujuh lapis langit tersebut terjatuh dan menimpa bumi, tempat manusia berada dan melangsungkan kehidupannya.
Allah juga yang menjadikan pelita sangat terang, yaitu matahari. Tanpa pernah padam sejenak pun. Semua manusia merasakannya dengan kadar yang berbeda-beda. Semua telah di tentukan Allah sehingga sesuai untuk manusia. Pernahkah kit abayangkan seandainya jarak antara matahari dan bumi tempat kita berada dijauhkan Allah sedikit saja. Mungkin dunia ini akan segera membeku kedinginan. Atau sebaliknya jaraknya didekatkan sedikit saja, maka semua yang ada di bumi akan terbakar kepanasan. Dzat yang sangat detil memperhitungkan hal tersebut tentu saja mudah dalam membangkitkan makhluk-Nya setelah kematian.
Allah juga yang menurunkan dari awan-awan yang membawa air menjadi hujan yang mengguyur bumi. Dari air yang satu itu kemudian diterima oleh tanah yang bermacam-macam jenisnya. Dari sana kemudian tumbuh berbagai jenis biji-bijian dan tumbuhan yang macamnya sangat beragam dan sangat banyak, sebagian diantaranya menjadi perkebunan dan taman-taman yang indah dan lebat. Dan setiap waktu selalu saja ditemukan jenis tanaman dan tumbuhan baru. Semuanya berasal dari satu jenis air. Yaitu air dari awan. Dzat yang bisa melakukannya tentu saja mampu membangkitkan manusia setelah kebinasaannya.
Hari yang Ditunggu-Tunggu
Bila hari penentuan itu datang, semuanya menjadi berubah. Karena saat itu para manusia sudah tak lagi dibebani dengan tugas dan taklif.
“Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan. Yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala lalu kamu datang berkelompok-kelompok. Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu. Dan dijalankanlah gunung-gunung maka ia menjadi fatamorgana”. (QS. 78: 17-20)
Bila datang hari kebangkitan, manusia pun segera terjaga dari kematian. Kehidupan sesungguhnya baru akan dimulai. Hari pembalasan menanti mereka. Mereka dibangkitkan secara berkelompok sesuai dengan perilaku dan amal mereka ketika hidup di dunia([7]). Masing-masing kelompok terdapat pemimpinnya, yang mereka ikuti ketika di dunia. Hal ini senada ungkapan Allah dalam firman-Nya, “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka Ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun” (QS. 17: 71)”
Langit-langitpun membuka diri atas titah Tuhan-Nya. Di dalamnya terdapat pintu-pintu yang sangat banyak. Gunung-gunung yang menjadi pasak bumi pun terserabut terbang dan dijalankan Allah bagai bulu. Ia pun seperti fatamormana. Ada keberadaannya tapi seolah terlihat tidak di alam nyata. Karena gunung yang demikian kokohnya terseret juga oleh arus dan mesti mengikuti titah dan perintah Tuhannya. Gunung-gunung itu menjadi seperti fatamorgana. Seperti ada dan seperti tiada. Seolah menjadi demikian ringannya. Ini adalah satu dari sekian gambaran kedahsyatan hari kemusnahan dan kiamat. Dan setelahnya diikuti dengan datangnya hari kebangkitan kemudian dilanjutkan dengan pembalasan.
Hari Pembalasan
Hari kebangkitan membawa misi keadilan. Agar setiap manusia mendapatkan balasan yang setimpal dan adil atas semua perbuatannya yang dilakukannya ketika ia hidup di bumi.
”Sesungguhnya neraka Jahannam itu (padanya) ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya. Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman. Selain air yang mendidih dan nanah. Sebagai pambalasan yang setimpal. Sesungguhnya mereka tidak berharap (takut) kepada hisab. Dan mereka mendustakan ayat-ayat kami dengan sesungguhnya. Dan segala sesuatu telah kami catat dalam suatu kitab. Karena itu rasakanlah. dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab”. (QS. 78: 21-30)
Orang-orang zhalim yang melampau batas kewajaran, yang lalim, penindas yang lemah, culas dan serakah. Bagi mereka neraka jahannam. Seburuk-buruk tempat kembali di akhirat kelak. Yaitu neraka yang selalu ada pengintainya. Menjaga mereka tanpa belas kasihan sama sekali. Sekali-kali takkan pernah mereka merasakan kenyamanan dan kesejukan. Al-Farra’ menafsirkannya dengan kenyamanan beristirahat dari panasnya hawa neraka sehingga disebut dengan ”la bardan”, takkan ada kesejukan dan kenyamanan dari siksa neraka yang tak kenal ampun([8]). Bahkan sekedar mendapatkan hembusan angin pun tidak, seperti tutur Az-Zajjaj dalam tafsirnya([9]). Tidak juga mereka mendapatkan sesuatu yang bisa mengusir dahaga dan haus karena menahan panas yang sangat luar biasa. Tak ada air. Kecuali air yang menggelegak atau nanah yang sangat menjijikkan dan baunya menyengat.
Itulah balasan yang setimpal bagi perbuatan mereka. Yaitu mendustakan ayat-ayat dan tanda kebesaran serta kekuasaan Allah. Bumi, langit, ditidurkannya manusia, gunung-gunung, awan dan air serta berbagai tanda yang lainnya seperti yang disebutkan. Seolah tak memberikan bekas dan pengaruh bagi mereka. Padahal kesempatan taubat yang berulang-ulang dibuka oleh Allah tak juga digunakan dengan baik sampai akhirnya dating masa yang tak lagi bisa diperdengarkan alasan dan udzur. Akibatnya, orang-orang yang melampaui batas tersebut berlaku zhalim. Menindas yang lemah, menipu, culas, ringan melakukan kesalahan, berbuat semaunya dengan memperturutkan hawa nafsunya. Karena mereka sudah berkeyakinan takkan ada pembalasan. Namun anggapan tersebut tidaklah benar. Semua bahkan terekam dalam catatan amal yang kelak tak lagi bisa dipungkiri, karena malaikat pencatat pun disertai saksi anggota tubuh manusia sendiri yang berbicara atas titas keagungan Allah. Saat itu, takkan lagi ada pendusta yang sanggup berdusta. Dan orang-orang yang zhalim tersebut tak laik mendapatkan tambahan melainkan kepedihan adzab yang tak terperikan.
Kemuliaan dan Kemenangan Orang Bertaqwa
Sebaliknya orang-orang yang mau menahan hawa nafsunya dan memilih ketaqwaan sebagai perilaku hidupnya semasa di dunia, mereka akan mendapatkan ganjaran yang setimpal, yaitu berupa kemuliaan dan kemenangan hakiki.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak”. (QS. 78: 31-36)
Bagi mereka kepuasan dan kebahagiaan selain disertai berbagai ganjaran materi yang sangat gamblang disebutkan di sini. Yaitu kebun-kebun yang sangat lebat nan indah serta buah anggur yang sangat menggiurkan. Ditemani bidadari-bidadari yang cantiknya tak tertandingi dan tak pernah tua. Umur mereka selalu sebaya. Yang tak pernah jemu dan bosan melayani mereka, menyodorkan aneka gelas indah yang selalu penuh dengan berbagai jenis minuman, sesuai keinginan mereka.
Selain itu semua, para penghuni surga jua mendapatkan kenikmatan psikis berupa perkataan yang baik. Tak ada lagi dusta dan kata-kata kasar terdengar di sana. Semua santun, kata-kata indah selalu didengar dan diperdengarkan. Telinga mereka menjadi termanjakan oleh hiburan-hiburan yang sangat membahagiakan. Terutama untuk ketenangan jiwa. Karena kata-kata kasar dan dusta serta kebohongan adalah siksaan bagi jiwa. Bagi para pembohong sekalipun kata-kata tersebut sangat berat. Abu Bakar Asy-Syibli menuturkan bahwa semua percakapan dan perbincangan penduduk surga adalah kebenaran([10]).
Itulah anugerah dari Dzat yang serba maha. “Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; yang Maha Pemurah.”. (QS. 78: 37)
Hari Kebenaran dan Keadilan
Pada hari itu takkan ada dusta. Takkan ada yang mampu menutup-nutupi kebenaran. Semuanya akan terungkap. Keadilan benar-benar ditegakkan untuk siapapun tanpa terkecuali.
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang Telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya”. (QS. 78: 38-39)
Hari itu semuanya tunduk pada titah Sang Perkasa yang Berkuasa penuh atas kendali bagi siapapun dan apapun. Dan penegakan hukum benar-benar dilakukan secara transparan dan adil tanpa ada pemihakan dan kecondongan bagi siapapun.
Meski demikian Allah tetaplah sebagai Dzat yang Maha Pemurah bagi hamba-hamba-Nya yang mau berusaha berbuat baik dan bersabar ketika mengarungi kehidupannya di dunia. Sekaligus Dzat yang Maha Benar yang akan membuktikan janji-Nya, dengan memberikan balasan yang adil dan setimpal. Yang zhalim tak dilebihkan hukumannya, sedang yang baik dilipatkan pahalanya. Itulah kemurahan dan cinta Sang Rahman yang tiada pernah habis.
Penutup: Penyesalan-Penyesalan
“Sesungguhnya kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:”Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah“. (QS. 78: 40)
Siapapun orangnya pasti kelak akan menyesali semua perbuatannya. Bagi yang diberikan nikmat surga dan kemuliaan ia akan menyesal mengapa tak lagi giat dan terus menambah dan meningkatkan kualitas dan kuantitas amal shalihnya. Apalagi bagi yang zhalim dan melampaui batas. Mereka justru berharap seandainya menjadi debu saja. Karena debu tak dimintai pertanggungjawaban amal. Kelak manusia bahkan jin akan dimintai pertanggujawaban atas perbuatannya.
Perkataan orang kafir di atas menggambarkan penyesalan yang sangat dalam. Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Mujahid mengatakan hal itu mereka katakana saat melihat hewan-hewan menjadi debu([11]). Namun sebaiknya ditafsirkan lebih umum. Karena baik jin dan manusia diciptakan untuk beribadah semasa hidupnya seperti tutur al-Qur’an([12]) dan semuanya akan diberikan balasan sesuai dengan amalnya ([13]).
Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang dimuliakan dengan balasan pahala kebaikan dan semua kekhilafan serta kesalahan kita diampuni dan ditutup oleh Allah swt dengan kasih saying-Nya. Amin.
Jakarta, Selasa, 10 November 2009
* Tadabbur surat An-Naba’ (Berita Besar): [78], Juz Amma (30)
** Mahasiswa Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an Universitas al-Azhar, Cairo
([1]) lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 22; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 250.
([2]) Menurut Imam Qatadah, juga jumhur mufassirin mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah hari kebangkitan (lihat: Ibnu Jarir ath-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M/1421 H, vol.30, hlm.5, Imam al-Baghawy, Ma’âlimu at-Tanzîl, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, vol.4, hlm.405, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Mansoura: Maktabah al-Iman, Cet.I, 1996 M/1417 H, Vol.8, hlm.170 )
([3]) Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir, Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.743
([4]) Syihabuddin al-Alusy, Rûhul Ma’âny, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1997 M/1417 H, Vol. 30, hlm. 4
([5]) Ibid, Vol. 30, hlm. 5
([6]) Imam al-Wahidy, al-Wasith fi tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M/1415 H, Vol.4, hlm.412
([7]) Imam Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Ma’any, Op.Cit, Vol. 30, hl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar